Pages

Wednesday, May 9, 2012

Jangan Takut!

Sumber Foto: http://bit.ly/K1FZiD
Irshad Manji menolak berdiri di podium. Ia ingin bicara sambil duduk. Ia tidak mau acara itu menjadi acara pidato. Dia ingin berdiskusi dan bertukar gagasan. Setiap orang boleh mengemukakan pendapat, bertanya, atau berkomentar apapun.

Acara malam 4 Mei 2012 itu cukup meriah. 150 orang hadir. Mereka mendaftar. Dua hari sebelum acara, panitia sudah mengumumkan bahwa seluruh kursi sudah penuh. Mereka yang datang di hari H terpaksa masuk dalam daftar tunggu. Kebanyakan yang hadir malam itu adalah anak-anak muda.

Buku Irshad Manji edisi bahasa Indonesia, “Allah, Liberty and Love: Suatu Keberanian Mendamaikan Iman dan Kebebasan” menjadi pintu masuk diskusi. Salihara, sang empunya tempat, memberi judul acara itu “Iman, Cinta, dan Kebebasan.”

Sunday, April 22, 2012

Pasca-Islamisme PKS


Judul: Dilema PKS: Suara dan Syariah
Penulis: Burhanuddin Muhtadi
Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG), 2012
Tebal: xxviii + 307 halaman

Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Medan, 26-30 Maret 2012 mengusung tema “Bekerja dalam Kebhinekaan untuk Kejayaan Bangsa.” Tema kebhinekaan ini tidak mengejutkan. Pada 2008, PKS malah menyelenggarakan Mukernas di Bali dengan menampilkan logo hitam kuning mereka bersinar dari balik pura. Pada Pemilu 2004, partai ini menanggalkan slogan Islamisme dan menggantinya dengan “bersih dan peduli.” Terjadi pergeseran orientasi? 

Olivier Roy, Asef Bayat, dan beberapa pengamat lain menyebut gejala ini sebagai pasca-Islamisme, di mana demokrasi mulai diterima. Gejala itu terjadi pada Partai Kebebasan dan Keadilan di Mesir, Partai an-Nahdla di Tunisia dan PJD (Parti de la Justice et du Développement) di Maroko. Juga terjadi pada AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi)  di Turki.

Sunday, April 15, 2012

HKBP Filadelfia dan Pemerintah yang Lalai

Sumber: http://www.elsam.or.id/new/index.php?id=1855&lang=in&act=view&cat=c/101
Oleh Evi Rahmawati

Penyegelan lokasi gereja HKBP Filadelfia, Tambun, Bekasi, mulai menuai respon keprihatinan.

“Sekali sebuah diskriminasi dibiarkan, maka para pelaku diskriminatif akan menaikkan tuntutan mereka.” Demikian Saidiman Ahmad dari Serikat Jurnalis Untuk Keberagaman (SEJUK) pada konferensi pers yang diadakan di kantor YLBHI, Rabu 12 April 2012. Konferensi pers yang diinisiasi oleh YLBHI, LBH Jakarta, Tim Advokasi HKBP Filadelfia, The Wahid Institute, SEJUK, eLSAM dan TPKB tersebut secara keseluruhan adalah menuntut adanya perlindungan hukum dari pemerintah bagi Jemaat HKBP Filadelfia dari segala bentuk diskriminasi dan intoleransi yang masih berlangsung hingga saat ini. Di samping itu, konferensi tersebut juga mengupayakan pencabutan kesepakatan yang pernah dilakukan antara jemaat HKBP Filadelfia dengan masyarakat yang menolak pembangunan dan peribadatan jemaat HKBP, yang pada prosesnya mengandung unsur-unsur paksaan dan intimidasi.

Wednesday, March 21, 2012

Langit Makin Mendung

Oleh Kipandjikusmin


LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.
“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti.”
Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw..

Thursday, February 23, 2012

Tuhan dalam Teror Bom


www.detik.com

“Tindakan seperti itu adalah tindakan yang sangat biadab yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertuhan dan tidak berperikemanusiaan. Terorisme dan tindak kekerasan tidak dibenarkan oleh agama manapun.“Pernyataan ini dikemukakan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam acara konferensi pers mengecam peledakan bom Solo di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo, pada 25 September 2011.

Pernyataan ini sangat bermasalah karena secara langsung Din Syamsuddin telah menuduh suatu kelompok, yaitu kalangan yang tidak bertuhan, sebagai pelaku teror bom tersebut. Pernyataan ini menjadi jauh lebih bermasalah karena Din tidak hanya belum menemukan fakta pelaku bom, tapi juga karena kesimpulan bahwa pelaku teror itu adalah kalangan yang tidak bertuhan tampaknya jauh dari kenyataan.

Wednesday, February 22, 2012

Kritik atas Nalar Pelarangan Ahmadiyah

Dimuat di Koran Tempo, 10 Maret 2011


Pasca-pembunuhan terhadap tiga warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, muncul gejala yang sangat memprihatinkan. Memang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merespons cepat dengan memberi perintah agar mencari jalan legal untuk membubarkan organisasi yang sering membuat kekisruhan. Yang menarik, beberapa daerah justru merespons perintah Presiden itu dengan mengeluarkan peraturan pembekuan kegiatan Jemaat Ahmadiyah. Pemerintah daerah Pandeglang mengeluarkan larangan bagi anggota Ahmadiyah melakukan kegiatannya. Pemda Jawa Timur mengeluarkan perintah yang melarang semua kegiatan Ahmadiyah di Jawa Timur. Di Banjarmasin, pemerintah bahkan melarang penggunaan masjid Ahmadiyah. Adapun di Jawa Barat, gubernur mengeluarkan perintah pembekuan kegiatan Ahmadiyah.
Memang perintah Presiden yang dikeluarkan dalam perayaan Hari Pers Nasional di Kupang itu tidak langsung menyebutkan organisasi yang hendak dicarikan jalan pembubarannya. Sehingga perintah ini dengan cepat dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah untuk mengarahkan perintah pembubaran justru kepada Ahmadiyah, bukan kepada pelaku kekerasan. Menteri Hukum dan Has Asasi Manusia Patrialis Akbar malah lebih banyak membahas LSM-LSM ketimbang organisasi-organisasi kemasyarakatan pelaku kekerasan. Demikian pula Menteri Agama Suryadharma Ali, dia justru lebih banyak membahas bagaimana mencari solusi bagi Ahmadiyah ketimbang mencari jalan bagi pembubaran Ormas pelaku kekerasan.

Pelarangan Ahmadiyah di sejumlah daerah menjadi sangat berbahaya justru karena baru saja Ahmadiyah mengalami penganiayaan di luar batas kemanusiaan. Buah dari penganiayaan bukan mengkriminalkan pelaku, melainkan malah lebih menyudutkan korban.

Tuesday, February 21, 2012

Arab Saudi Pasca Usamah

Jenny Seville: Self Portrait
Usamah bin Ladin tewas di tangan pasukan khusus Amerika Serikat. Lebih dari sepuluh tahun terakhir, pria berjenggot lebat ini menjadi buronan nomor satu Amerika Serikat menyusul sejumlah aksi teror yang ia daku sebagai aksinya.

Dalam debat mengenai perang melawan terorisme, Usamah bin Ladin adalah tokoh yang unik dan kompleks. Ia mewakili perlawanan panjang terhadap rezim Saudi yang menguasai Jazirah Arab sepanjang 200 tahun lebih. Tapi pada saat yang sama, ia muncul sebagai sosok teror yang mengancam keamanan dunia.

Bin Ladin adalah satu dari sedikitnya 30.000 warga Arab Saudi yang dikirim ke Afganistan untuk melancarkan perang melawan Uni Soviet yang menduduki wilayah itu sejak awal 1980an. Tidak sulit baginya untuk menjadi tokoh penting dalam perang itu. Ia adalah anak konglomerat terkemuka Arab Saudi, Muhammad bin Ladin, yang melakukan pemugaran terhadap Masjidil Haram. Dengan kekuatan hartanya dan kesediannya untuk menyumbang membuatnya cepat terkenal. Oleh Madawi Al-Rasheed, ia disebut sebagai tokoh yang relatif netral di antara pertentangan kelompok-kelompok primordial Saudi.

Monday, February 20, 2012

FPI memukuli Korlap Gerakan Indonesia Tanpa FPI



Ini video yang memperlihatkan detik-detik penyerangan berupa perebutan spanduk dan pengeroyokan terhadap Korlap demostrasi #IndonesiaTanpaFPI, 14 Februari 2012, di sekitar Bundaran Hotel Indonesia. Polisi berhasil mengorek keterangan dari para pelaku penyerangan bahwa mereka adalah anggota FPI. Sampai saat ini polisi hanya menetapkan satu tersangka.

#IndonesiaTanpaFPI

Sunday, February 19, 2012

Argumen Islam untuk Kebebasan

Picasso: Drawing
Sebelumnya Dimuat di Koran Tempo, 15 April 2011

Debat yang muncul seputar keberadaan sekte Islam Ahmadiyah memasuki babak baru menyusul perlakukan kekerasan yang mereka alami. Kampanye anti-Ahmadiyah yang begitu massif semakin menyudutkan kelompok yang memang marjinal ini. Betapapun kuat argumen bahwa Ahmadiyah hanyalah sekte di dalam Islam, tapi kenyataan bahwa banyak orang yang berpikiran lain tidak bisa diabaikan. Persoalannya, anggapan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam inilah yang dijadikan dalih bagi sekelompok orang untuk terus-menerus menganggu, meneror, bahkan membunuh anggota Ahmadiyah.

Dalam konteks hukum positif, Konstitusi, hak azasi manusia, dan akal sehat jelas tidak pernah bisa dibenarkan seorang warga melakukan kekerasan kepada orang lain apalagi dengan hanya alasan agama. Persoalannya, para pelaku kekerasan merasa tidak perlu menggunakan hukum positif, Konstitusi, HAM dan akal sehat dalam aksi brutalnya. Mereka menganggap legitimasi agama jauh lebih kuat dan mengatasi argumen apapun.

Pertanyaan yang mesti terus-menerus diajukan adalah apakah para pelaku kekerasan ini benar-benar memiliki argumen agama, dalam hal ini Islam? Mari kita ambil “murtad/ridda” sebagai bentuk pembangkan terbesar dalam beragama. Murtad (apostasy) jauh lebih serius daripada sesat atau menyimpang (heresy). Sesat atau menyimpang adalah kondisi di mana seseorang menolak satu atau beberapa doktrin tertentu dalam agama. Sementara murtad menolak keseluruhan doktrin atau tidak lagi menjadikan seluruh doktrin dalam sikap dan perilaku beragama.

Nikah Beda Agama

Picasso: Tomato Plant
Ketegangan antar-pemeluk agama di Indonesia tak kunjung mereda. International Crisis Group (ICG) mengidentifikasi setidaknya enam penyebab ketegangan agama di Indonesia, khususnya Islam-Kristen. Melalui laporannya tanggal 24 November 2010, ICG menyebut bahwa salah satu penyebab ketegangan itu adalah karena isu Kristenisasi. Isu inilah yang dijadikan alasan kelompok-kelompok Islam garis keras bergerak menghimpun massa dan melakukan teror. Cara ini ditempuh untuk menghambat Kristenisasi dan pada saat yang sama, sebenarnya, adalah juga untuk melakukan Islamisasi. Ada semacam perlombaan antar-agama untuk mencari pengikut sebanyak mungkin. Saya tidak paham, apa signifikansi pengikut yang banyak bagi suatu agama?


Tapi baiklah. Isu perlombaan mencari pengikut ini kemudian merambah ke hubungan sesama manusia. Tulisan ini hendak mengemukakan satu contoh hubungan antar manusia yang tercederai oleh persaingan memperbanyak pengikut ini. Contoh yang saya kemukakan adalah penikahan beda agama. Belakangan ini, pernikahan beda agama, oleh sebagian kalangan, dicurigai sebagai bagian dari misi penyebaran agama. Yang menjadi persoalan adalah bahwa kalau pun ini adalah bagian dari misi penyebaran agama, kenapa mesti dipersoalkan? Bukankah pernikahan adalah lembaga yang netral di mana masing-masing pihak bisa berebut pengaruh? Suami, istri, bahkan anak sama-sama bisa menjadi agen perekrut pengikut agama. Seorang suami bisa mempengaruhi istri dan anaknya untuk mengikuti keyakinan agamanya. Istri juga bisa melakukan hal yang sama: mempengaruhi suami dan anaknya. Pada saat yang sama anak juga bisa mempengaruhi keyakinan agama orang tuanya.

Friday, February 17, 2012

Apa Itu Kebebasan

Foto: Daniel Awigra
Pertanyaan tentang kebebasan patut diajukan. Bukan hanya karena masih cukup banyak persoalan terkait kebebasan belakangan ini, tapi karena stigma mengenai kebebasan masih besar. Kebebasan acapkali dipersepsi sebagai suatu kondisi di mana orang dihalalkan berbuat sekehendak hati. Kebebasan disamakan begitu saja dengan hukum rimba di mana yang kuat memangsa yang lemah. Kebebasan dipersepsi sama dengan keliaran.

Definisi semacam ini sebenarnya muncul dari kenggenan dan kemalasan berpikir dan membaca. Sungguh melimpah literatur yang mengulas mengenai kebebasan. Tak satupun literature itu mendefinisikan kebebasan sebagai keliaran. Tak satupun itu mendukung klaim kesimpangsiuran dalam sistem kebebasan.

Para Penghina Islam

Sumber Foto: http://bit.ly/yU5C2m
Gerakan pembaruan adalah kerja kenabian. Para pembaru, begitu juga para nabi, selamanya mendapat tantangan dari masyarakat yang hendak diperbaruainya.

Di dunia Islam, para pembaru dicurigai membawa misi melawan Islam. Pembaruan dianggap sebagai pelemahan terhadap Islam. Mereka dilecehkan. Pelecehan terbesar yang diterima para pembaru Islam adalah bahwa mereka dianggap menghina Islam. Proyek-proyek pembaruan dianggap sama dengan penghinaan. Pikiran-pikiran progressif dianggap sama dengan penghinaan.

Tuesday, February 7, 2012

Kenapa Jalan Layang, Bukan Monorail?

Saya sungguh heran melihat pembangunan jalan layang di sepanjang Jl Antasari dan Casablangka Jakarta. Kenapa bukan monorail? Katanya proyek monorail terhenti karena kendala dana, kok sekarang bangun jalan layang panjang di mana-mana?

Jalan-jalan layang itu bukan solusi untuk kemacetan. Penduduk kota malah akan tambah antusias beli kendaraan pribadi. Moda transportasi berbasis rel adalah solusi jitu kemacetan. Bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Lha jalan layang?

Saya curiga ada "lobi besar" perusahaan-perusahaan mobil dan motor yang kemudian memunculkan solusi jalan layang ketimbang monorail. Jalan layang akan memperbesar pasar mobil dan motor. Sementara monorail menguranginya. Tapi ini sebatas teori konspirasi kejengkelan.

Dari sini saya berkesimpulan bahwa pemerintah kota kurang punya niat baik mencari solusi kemacetan.

Sunday, February 5, 2012

Demokrasi Islam?

The Dream, Picasso
Dimuat di www.islamlib.com

Para ilmuan politik mencoba sejumlah pendekatan untuk menguak potensi demokrasi pada masyarakat Muslim. Salah satu pendekatan yang banyak digunakan saat ini adalah behavioristik yang dikembangkan oleh Gabriel A. Almond dan Sidney Verba. Berdasarkan analisa perilaku masyarakat Muslim disimpulkan bahwa sebenarnya masyarakat Muslim memiliki karakter suatu masyarakat demokratis. Masyarakat Muslim memiliki modal sosial yang memungkinkan tumbuhnya demokrasi. Saiful Mujani, misalnya, menemukan pola-pola itu pada masyarakat Muslim Indonesia. Perilaku masyarakat Muslim Indonesia tidak jauh berbeda dengan perilaku masyarakat Kristen Amerika Serikat seperti yang diteliti oleh Alexis de Tocqueville. Demikan pula dengan masyarakat Italia sebagaimana yang diamati oleh Robert D. Putnam. Pada intinya, masyarakat Muslim memiliki modal sosial untuk menyongsong sistem politik demokratis.

Nasionalisme Abdullah bin Nuh

KH Abdullah bin Nuh
Dimuat di www.islamlib.com

Bukan jalan benar yang dipersengketakan. Nama jalan itulah yang diperdebatkan. Di jalan itu berdiri sebuah gereja setengah jadi milik Gereja Kristen Indonesia (GKI) Taman Yasmin. Gereja itu disegel. Walikota Bogor pelakunya.

Nama jalan di mana gereja setengah jadi itu berdiri adalah KH Abdullah bin Nuh. Ia adalah seorang tokoh besar. Sumbangsihnya tidak tanggung-tanggung. Ia terlibat dalam proses pendirian Negara Republik Indonesia. Ia adalah salah satu anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Ia bergabung dengan tentara Pembela Tanah Air (PETA) bentukan Jepang. Ia bahkan menjadi komandan batalyon PETA atau daidancho. Jabatan komandan batalyon ini ia pegang terus ketika ia bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Kemanan Rakyat (TKR).

Friday, February 3, 2012

Prahara Kopi Pekat di Pagi Bisu

Self Portrait, Jenny Saville
Saya bekerja di toko roti di seberang jalan itu. Sudah lama saya mengenal Anda. Siapa yang tidak kenal pengarang seperti Anda. Saya membaca semua novel Anda. Novel terakhir terus mengusik pikiran saya. Tampaknya semua orang yang membaca akan selalu ingin melanjutkan ceritanya dalam imajinasi. Saya ingin melanjutkannya dalam kehidupan saya sendiri.
Di toko roti tempat saya bekerja itu ada seorang bos yang selalu baik kepada saya. Suatu ketika dia mengajak saya makan siang. Dia bercerita tentang kehidupannya, tentang masa lalunya. Saya mendengarkan semuanya sampai ketika suasana sudah tidak memungkinkan lagi untuk bercerita dan mendengarkan. Sejak saat itu, tawaran makan siang atau sekedar minum kopi sering datang.

Dering

Dress Blues
Dan ini adalah kali yang ketiga kau menerima sms misterius itu. “Telah kutitipkan diriku di asap yang sebentar kemudian mengudara,” demikian bunyi sms dengan nomor pengirim 0815 sekian-sekian. Belum lama berselang ketika kau mulai menyusuri setiap lorong kenanganmu tentang nomor-nomor hp, hpmu kembali berdering membawa pesan pendek yang tidak kau mengerti. Kau buka file nama-nama sahabatmu, tidak ada nomor 0815 sekian-sekian di sana. Kau telusuri daftar rekan kerja, pun nihil hasilnya. Dan kau merasa tidak perlu menghitung nomor-nomor bekas pacarmu, jelas nomor itu bukan nomor mereka. Lalu isi pesan itu, ah rasa-rasanya kau baru kali ini menerima pesan pendek yang terlalu sarat dengan misteri.

Mayoritarianisme Kaum Anti-Demokrasi

Girl in Tub, Jenny Saville
Belakangan ini, perdebatan mengenai demokrasi kembali mencuat menyusul ide pembubaran Ormas anarkhis. Beberapa Ormas yang diduga sering melakukan tindakan anarkhis menolak dibubarkan dengan alasan demokrasi. Demokrasi diyakini memberikan kesempatan yang seluas-luasnya bagi semua kelompok masyarakat untuk hidup. Persoalan muncul ketika kelompok masyarakat yang diberi hak hidup itu ternyata tidak semuanya menerima demokrasi sebagai cita-cita dan pandangan hidup.

Kontra Terorisme AS

http://bit.ly/xOttpT
Tepat tanggal 11 September, 5 tahun silam, menara kembar World Trade Center (WTC) runtuh oleh sebuah tabrakan pesawat yang diduga dibajak. Pada saat yang hampir bersamaan, pusat militer Amerika Serikat Pentagon juga ditabrak oleh pesawat bajakan. Itulah drama terorisme terdahsyat di awal abad 21, keberhasilan terorisme paling dahsyat sepanjang masa. Lebih dari 3 ribu orang dinyatakan meninggal akibat peristiwa mengerikan itu.
Banyak orang mengajukan pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab: “apa yang sebetulnya terjadi?” Terorisme yang awalnya muncul di Barat dan merupakan produk peradaban Barat telah menyerang peradaban agung Barat itu sendiri. Banyak analis Barat tampak kebingungan menghadapi fenomena ini. Istilah “teror” untuk pertama kalinya dipakai dalam pengertian politik modern menunjuk pada peristiwa yang dijuluki Teror Revolusi Prancis tahun 1793. Hampir semua negara di Barat mengalami peristiwa dan rezim terorisme. Pertanyaan yang muncul adalah apa itu terorisme dan atas maksud apa ia muncul?
David Fromkin ( Forreign Affairs, 1975) mendefinisikan terorisme sebagai sebuah bentuk kekerasan yang digunakan untuk menciptakan ketakutan. Ketakutan yang diciptakan tidak untuk tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan untuk menggiring orang lain melakukan tindakan yang agak berbeda yang sebetulnya diinginkan oleh teroris. Dalam kasus tragedi 11 September, tujuan teroris tampaknya bukanlah pembunuhan besar-besaran itu sendiri, melainkan memancing AS untuk melakukan serangkaian tindakan, yang, oleh para teroris, dinilai akan memenuhi sebuah harapan, harapan tentang bersatunya kekuatan dunia untuk melawan AS dan seterusnya. Para teroris memancing pemerintah AS dan sekutunya melakukan tindakan kontra terorisme yang akan ditentang oleh komunitas internasional. Demonstrasi besar-besaran di seluruh penjuru dunia untuk menentang perang ke Afganistan, Irak, Palestina, dan Libanon, juga rencana perang melawan Iran, Suriah, dan Korea Utara mungkin adalah salah satu keberhasilan teroris melakukan provokasi.
Represi Internasional
Tapi di atas segalanya, tragedy 11 September untuk sementara berhasil merubah orientasi kebijakan publik pemerintah Amerika Serikat. Represi internasional yang dilakukan pemerintahan Bush benar-benar menguat menyusul terjadinya tragedi 11 September. Gengsi AS sebagai polisi internasional benar-benar terusik oleh tragedi 11 September. Dalam setiap pidato, Presiden Bush selalu mengobarkan semangat perang terhadap terorisme, yang kerapkali direduksi ke dalam bentuk perang menghancurkan Taliban, menurunkan Saddam Husein, menggagalkan kemenangan HAMMAS di Palestina, melenyapkan Hizbullah, mengancam pemerintahan Iran dan Korut karena program pengayaan uranium nuklir, dan tetap mendukung semua kebijakan politik dan keamanan internasional Israel. Dengan dalih kontra terorisme, Presiden Bush dan sekutunya melancarkan serangan dan menyebar ancaman yang membabi buta ke setiap negara yang “diduga” sebagai pendukung terorisme. Entah atas dasar apa, terorisme telah dihadapi senjata dan penciptaan ketakutan bagi komunitas internasional. Tapi kemudian semua orang tahu, AS dan sekutunya tidak pernah bisa memberantas terorisme dengan meneror.
Bom-bom bunuh diri bahkan semakin trend di kalangan teroris, kendati puluhan ribu korban jiwa telah berjatuhan di kalangan masyarakat sipil dunia. Bukan hanya menambah subur terorisme, represi internasional AS juga mengundang reaksi berbagai komunitas internasional untuk melawan. Perlawanan yang dilakukan komunitas internasional itu adalah dengan memenangkan kandidat-kandidat Presiden yang kontra dengan AS. Berbagai rezim komunis tiba-tiba muncul di Amerika Selatan. Rezim-rezim Islam garis keras juga muncul sebagai kontestan terkuat di Pemilu-pemilu paling demokratis di Timur Tengah. HAMMAS telah memenangkan Pemilu Palestina. Hizbullah menjadi kekuatan politik favorit di Libanon. Kekuatan-kekuatan Ikhwanul Muslimin juga muncul di Mesir. Partai-partai Islam garis keras bermunculan di Irak, Pakistan, Malaysia, dan juga Indonesia.
Anti-AS di Indonesia
Represi Internasional AS juga sangat terasa dampaknya dalam kehidupan publik di Indonesia. Dengan dalih melawan AS, kekuatan-kekuatan Islam dan “kiri” muncul bak jamur di musim hujan. AS tidak hanya dipahami sebagai negara yang telah melakukan serangan terhadap Irak dan Afganistan, tapi juga dipahami sebagai representasi kebejatan moral dan biang kemiskinan global. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), jika boleh merepresentasikan kekuatan Islam Anti-AS, semakin solid dengan meraih 7 % suara pada Pemilu 2004, yang awalnya hanya memiliki 1,3 % suara pada Pemilu 1999. Kekuatan-kekuatan “Islam” juga muncul di parlemen dan memberikan dukungan terhadap peraturan dan undang-undang yang bernuansa syariah.
Maraknya Perda Syariah menjadi semacam acuan, bahwa kekuatan politik Islam memang semakin solid. Jika kekuatan Islam ini terus menuntut penerapan agenda syariat Islam yang theosentris, maka ini adalah alamat buruk bagi kelangsungan demokratisasi di Indonesia. Demokrasi, oleh banyak kekuatan politik Islam, adalah alat idiologi Barat, terutama AS, untuk tetap menjaga kepentingannya di negara-negara berkembang. Hanya demokrasilah yang memungkinkan pihak luar negeri melakukan intervensi terhadap kebijakan dalam negeri. Demokrasi memberikan peluang kepada kekuatan-kekuatan masyarakat sipil dalam mempengaruhi kebijakan publik. Para pemilik modal internasional sangat bisa “membeli” kekuatan-kekuatan sipil, bahkan kekuatan-kekuatan yang tersebar dalam bentuk partai-partai politik. Munculnya berbagai Perda dan rancangan undang-undang “moral” yang berpotensi membelenggu kebebasan demokratis tidak hanya mengancam demokratisasi di Indonesia, tapi juga diandaikan sebagai bentuk perlawanan terhadap AS. Idilogi kebebasan yang coba disebarkan, dianggap sebagai bentuk propaganda AS. Kontra terorisme represip yang dilancarkan AS tidak hanya menjadi senjata yang berpotensi menyerang balik kekuatan-kekuatan AS di seluruh dunia, tapi juga menjadi senjata pemusnah kebebasan di semua negara demokratis. Setelah 5 tahun, nampaknya AS harus mengevaluasi perang melawan terorisme yang mereka lancarkan. Sebab sangat nyata, cara-cara represif yang membabi buta, malah menjadi lahan subur bagi munculnya bibit-bibit terorisme baru. AS harus mampu melihat aspek lain dari munculnya terorisme, yakni ekonomi.
Eksploitasi ekonomi yang berlebihan, yang menyebabkan Dunia Ketiga jatuh ke dalam kemiskinan akut, adalah salah satu faktor munculnya sikap perlawanan. Orang seperti Usamah bin Laden memang bukan orang miskin, tapi solidaritas sebagai kaum tertindas bisa begitu kuat, ketika menyaksikan kaum papa di sekelilingnya. Kemiskinan Dunia Ketiga juga terbukti menjadi amunisi paling ampuh dari para pengkritik AS dan penentang demokrasi. Kampanye dan perang melawan kemiskinan, mungkin lebih baik dan lebih simpatik daripada menyebar teror dengan senjata.

Ketika Abu Bakar Ba'asyir Melakukan Pemurtadan

Pernyataan Abu Bakar Ba’asyir bahwa orang Islam yang tidak setuju dengan Perda Syariat adalah murtad sangat menyakitkan dan melukai proses demokratisasi yang sedang terbangun di Indonesia. Pernyataan itu dikemukakan Ba’asyir dalam ceramah bertajuk “Indahnya Syariat Islam” pada acara Milad VIII Partai Bulan Bintang (PBB) di Jakarta (3 Juli 2006). Ba’asyir menyatakan dukungan sepenuhnya bagi penerapan Perda Syariat di sejumlah daerah di Indonesia. Ba’asyir menyatakan, “jika yang menolak Perda Syariat itu orang kafir, itu wajar. Namun jika yang menolak itu orang Islam, itu keterlaluan. Kalau orang Islam yang tidak setuju, itu murtad.”
Pernyataan Abu Bakar Ba’asyir, yang memiliki seribuan pengikut terorganisir, ini sangat berbahaya, karena bisa menjadi instrumen bagi pelanggaran hak asasi manusia kepada kalangan yang menolak Perda Syariat. Sebagai pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia dan Ponpes Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir adalah ulama yang cukup disegani oleh pengikutnya. Sangat mungkin pernyataan Ba’asyir akan digunakan oleh para pengikutnya, yang terkenal fanatik dan tekstualis dalam beragama, untuk melecehkan dan menyerang orang-orang yang dianggap murtad.
Sudah banyak kasus, bagaimana orang Islam yang dianggap murtad menjadi tidak tenang hidupnya karena dibayang-bayangi kematian. Ada sejumlah kalangan di dalam Islam yang menganggap bahwa orang murtad halal darahnya. Ulil Abshar-Abdalla pernah divonis halal darahnya oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) Bandung karena dinilai murtad hanya karena menafsirkan doktrin agama secara baru. Akibatnya, Ulil harus selalu waspada setiap saat. Salah seorang yang mengaku patuh terhadap ulama bahkan beberapa kali menguntit Ulil untuk dibunuh. Ulil adalah contoh populer di Indonesia bagaimana vonis murtad itu sungguh berbahaya.
Salman Rusydy adalah contoh lain di mana ia harus selalu was-was di sepanjang hidupnya karena difatwa mati oleh Khomaini hanya karena karya sastranya yang kritis. Pemikir Islam terkemuka, Mahmod Mohammad Toha, terbunuh karena dianggap murtad oleh pemerintah Islam Sudan di bawah pimpinan Hasan Turabi. Mahmod Mohammad Toha dianggap murtad hanya karena ia mencoba melakukan terobosan untuk menjadikan al-Qur’an kompatibel dengan perkembangan zaman. Ahli hukum Islam, Abdullahi Ahmed An-Naim, terusir dari Sudan dengan kasus yang sama. Fazlur Rahman melarikan diri dari Pakistan karena dianggap murtad setelah ia menawarkan cara penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan zaman. Fazlur Rahman berkeyakinan, bahwa al-Qur’an masih relevan dengan perkembangan zaman, hanya jika al-Qur’an ditafsirkan secara substantif. Fazlur Rahman adalah guru para pemikir besar Islam Indonesia, seperti Alm. Nurcholish Madjid, Syafi’I Ma’arif, dan Amien Rais. Pemikir-pemikir Islam besar seperti Nasr Hami Abu Zaid, Najib Mahfudz, Hassan Hanafi, dan Nawal el-Sa’adawi juga mengalami nasib pemurtadan yang serupa.
Selain bisa mengancam nyawa, pernyataan Ba’asyir di atas secara langsung adalah bentuk pemurtadan baru di Indonesia. Jutaan masyarakat Muslim Indonesia tiba-tiba menjadi murtad dalam pernyataan Ba’asyir. Ratusan Ormas dan LSM telah menyatakan penolakan terhadap Perda Syariat dan RUU Syariat. Kendatipun NU dan Muhammadiyah cenderung mendukung Perda dan RUU Syariat, tapi organisasi-organisasi di bawahnya serta banyak tokoh utamanya justru menolak Perda dan RUU itu. Tokoh NU seperti KH Abdurrahman Wahid dan Masdar Farid Mas’udi juga tokoh Muhammadiyah seperti Syafi’I Ma’arif dan M Dawam Rahardjo menyatakan dengan tegas penolakannya terhadap Perda-perda dan RUU Syariat Islam. Ada 52 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga menyatakan penolakan terhadap Perda Syariat. Partai-partai besar seperti PDIP, PDS, sebagian besar PKB, dan sebagian Partai Golkar juga menyatakan ketidaksetujuan dengan Perda Syariat. Tokoh politik terkemuka seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Akbar Tanjung juga menyatakan penolakan terhadap Perda Syariat. Lalu kita bisa menghitung berapa banyak kaum Muslim yang berada di belakang para tokoh, anggota Ormas, anggota dan simpatisan partai, dan pemilih anggota DPR penolak Perda Syariah.
Jika Ba’asyir tetap menyatakan bahwa para penolak Perda Syariat adalah murtad, maka ada sekian juta ummat Islam tiba-tiba menjadi murtad oleh pernyataan itu. Lalu kita bertanya, masihkah relevan jika dikatakan bahwa ummat Islam Indonesia 80% lebih? Bukankah lebih valid jika dikatakan bahwa sebetulnya ummat Islam Indonesia hanya sekitar 30 atau 20% saja? Jika ini dianggap sebagai masalah, maka yang pertama-tama harus disalahkan adalah ulama semacam Abu Bakar Ba’asyir yang telah melakukan pemurtadan terhadap sekian juta masyarakat Muslim Indonesia. Sulit untuk dipahami bagaimana ulama yang disegani seperti Abu Bakar Ba’asyir bisa melakukan pemurtadan.
Alih-alih membawa ummat Islam menjadi ummatan wahidah (ummat yang bersatu) yang ya’lu wa yu’la alaih (berperadaban tinggi dan tidak ada satu peradaban yang mengatasinya), Ba’asyir malah semakin menenggelamkan ummat Islam ke dalam ketertutupan dan kemerosotan tajam. Pemurtadan yang dilakukan oleh Ba’asyir telah membawa ummat Islam menjadi ummat kecil, tertutup, dan sempit. Islam, oleh Ba’asyir, menjadi agama yang dianut oleh hanya segelintir orang. Kasus pemurtadan yang dilakukan oleh Ba’asyir juga menyimpan arogansi yang sangat besar. Ba’asyir menempatkan diri sebagai wakil Tuhan atau juru bicara Tuhan di bumi. Ba’asyir melupakan bahwa beliau bukanlah satu-satunya ulama atau orang yang mengerti Islam. Terlalu banyak pemikir dan ulama yang serius mengkaji agama besar Islam tapi tidak sejalan dengan pemikiran Ba’asyir. Bahkan kita bisa ragu, apakah sosok seperti Ustadz Ba’asyir ini bisa dijadikan representasi ummat dan pemikiran Islam? Seperti Ba’asyirkah contoh khairah ummah (ummat terbaik) yang diinginkan oleh Rasul, sosok yang gampang memurtadkan orang, yang gampang menyebar kebencian, dan menutup diri terhadap perubahan?
Contoh paling ideal dalam Islam tentu saja bukan Ba’asyir, melainkan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad adalah sosok yang penuh kasih sayang, penyantun, dan pemersatu. Dan yang paling penting, Nabi Muhammad adalah sosok pembaharu pada masanya. Nabi Muhammad tidak pernah tenang dengan kekolotan berpikir ummatnya, maka ia melakukan inovasi dan pembaharuan besar-besaran, meskipun dengan itu ia harus dicerca. Pembaharuan seperti inilah yang ditentang keras oleh Ba’asyir dan kelompoknya. Di zaman Nabi, penentang pembaharuan Muhammad adalah Abu Jahal dan Abu Lahab. Kita tentu tidak ingin Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menjadi Abu Jahal dan Abu Lahab di zaman modern.