Pages

Friday, February 3, 2012

Dering

Dress Blues
Dan ini adalah kali yang ketiga kau menerima sms misterius itu. “Telah kutitipkan diriku di asap yang sebentar kemudian mengudara,” demikian bunyi sms dengan nomor pengirim 0815 sekian-sekian. Belum lama berselang ketika kau mulai menyusuri setiap lorong kenanganmu tentang nomor-nomor hp, hpmu kembali berdering membawa pesan pendek yang tidak kau mengerti. Kau buka file nama-nama sahabatmu, tidak ada nomor 0815 sekian-sekian di sana. Kau telusuri daftar rekan kerja, pun nihil hasilnya. Dan kau merasa tidak perlu menghitung nomor-nomor bekas pacarmu, jelas nomor itu bukan nomor mereka. Lalu isi pesan itu, ah rasa-rasanya kau baru kali ini menerima pesan pendek yang terlalu sarat dengan misteri.
Selama ini, paling banter kau hanya menerima teka-teki biasa sebagai bahan lelucon dari sahabat, rekan, ataupun pasangan-pasangan intimmu. Sementara pesan yang sedang mengganggumu ini benar-benar lain. Inti pesannya tidak jelas, dan teramat gelap. Kau malah sampai kepada kesimpulan, itu bukan pesan, melainkan hanya metafor yang tidak punya arti, hanya berupa igauan pengirimnya yang juga kurang waras. Tapi kok berkali-kali mengirim? Kenapa kepada kau? Atau orang lain juga mendapat kiriman sms seperti itu? Menurut penulis cerita, sms itu hanya ditujukan kepadamu, hanya kau yang menerima sms aneh itu, orang lain semuanya masih berada dalam kehidupan per-sms-an yang wajar, seperti kau sebelum menerima sms aneh itu.
Hpmu kembali berdering, ini adalah kali yang kedua puluh satu. Darahmu mendidih. Kau betul-betul merasa terganggu dengan dering bunyi hp yang berkali-kali itu. Ingin rasanya kau membanting hpmu, kalau saja kau tidak ingat arti pentingnya hp bagimu. Hp telah memperkenalkanmu dengan banyak hal yang tidak mungkin kau kenal kalau saja kau tak punya hp. Hp telah membawamu merambah lebih jauh lebih dari sekedar apa yang kau bisa raih dengan organ tubuh aslimu. Oh, kenapa tidak kau matikan saja? Selain disediakan fasilitas dihidupkan, hp juga membuka peluang untuk dimatikan, sehingga semua pesan dan keinginan orang untuk menghubungimu lewat udara akan tertunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan. Atas saran yang tiba-tiba muncul dalam kepalamu, yang tak pernah kau coba pikirkan muasalnya, kau matikan hp itu. Ada rasa lega. Kini kau bersiap-siap melanjutkan penelusuran ingatan, tanpa perlu tersendat oleh deringan hp yang membawa pesan yang sama, pikirmu.
Kau mulai dari nama Acong, ternyata hpnya tidak bernomor 0815 sekian-sekian. Kemudian Banu, juga bukan 1815 sekian-sekian. Tidak ada yang pas. Kalaupun ada, tentu namanya akan terpampang secara otomatis ketika kau membuka sms itu. Kau kemudian berniat mencari dan membuka daftar nomor telepon atau bertanya kepada operator telepon yang biasanya mengetahui nomor-nomor telepon. Tapi betapa bodohnya, bukankah para pemilik hp tidak pernah jelas, tidak terdaftar nama-namanya, apalagi kalau hp tersebut telah pindah tangan ke orang kedua, hp second, ketiga, atau kesepuluh? Kau mengurungkan niat. Hpmu kembali berdering membawa pesan pendek yang tidak kau mengerti maksud dan arahnya. Bertambah lagi keanehan yang lain, hpmu masih bisa berdering setelah kau matikan. Kau sekarang membuka kartu dan beterainya, meski kau yakin hp itu tetap akan berdering. Belum sempat kau tutup kembali, hp itu berdering lagi, tanpa kartu dan baterai. Di hp itu tertulis sebuah pesan pendek: “Telah kutitipkan diriku di asap yang sebentar kemudian mengudara.” Itu adalah kali yang ke seratus tiga puluh tiga.
Pada hitungan yang ke seribu dua puluh satu, kau mulai memikirkan untuk menyingkirkan hp yang mengusik kehidupanmu itu. Kau harus memindah-tangankan hpmu. Meskipun akan ditawar murah, ke counter terdekat adalah alternatif satu-satunya. Setelah itu barangkali kau akan membeli kembali hp yang baru, yang tidak diketahui nomornya oleh pengirim sms cilaka itu. Tapi, siapa pula orang bodoh yang mau membeli hp yang setiap saat berdering? Betul, hp dimaksudkan untuk bisa berdering menyampaikan pesan dan juga untuk mengirim pesan, tapi hp yang setiap waktu berdering dan membawa pesan yang itu-itu juga, yang susah dimengerti pula, pengirimnya misterius pula, adalah alamat buruk bagi kehidupan. Jangankan membeli, menyewa orang untuk memiliki hp semacam itu pun barangkali tidak ada yang mau. Kau urungkan niatmu menjual hp sebelum tiba masalah yang baru.
Hp itu berdering lagi untuk yang kedua ribu sekian. Pesannya tetap sama: “Telah kutitipkan diriku di asap yang sebentar kemudian mengudara.” Kau raih hp itu ke tanganmu. Lalu kau pasang kembali segala atributnya yang telah kau lepas. Beberapa kali hp itu tetap berdering membawa pesan yang tidak kau mengerti. Dan kau lanjutkan meletakkan hp yang terus berdering itu di atas meja. Kau pandangi. Kau tidak lagi memikirkan darimana deringan yang membawa pesan itu berasal, yang membuatmu pusing adalah bagaimana segera menyingkirkan hp itu dari kehidupanmu. Dalam pikiranmu, kau telah menggali kuburan buat hpmu itu. Kuburan yang kau rancang kira-kira seukuran yang pas buat kematian sebuah hp. Hpmu telah mati sejak ia terus mengusikmu—atau jangan-jangan hp itulah yang membuatmu mati? Kuburan itu kau tempatkan di sebuah bukit tak jauh dari rumahmu. Tentu saja kau tidak akan menguburnya di halaman depan atau belakang. Pikirmu, hp itu tetap akan berdering, dan kau akan tetap terusik oleh deringannya. Tapi apakah ide itu benar-benar akan menyelesaikan masalah? Bagaimana kalau ada orang yang lewat dan mendengar hp itu berdering membawa sebuah pesan pendek yang tidak dimengerti? Orang itu tentu akan mendekat, menggali, mengambil, dan sangat boleh jadi hp itu dikembalikan kepadamu.
◙◙◙
Awalnya, hpmu itu tidak pernah membuatmu susah, kau beli dengan hasil keringat. Waktu itu kau sangat ingin memiliki hp, karena telah dimaklumkan, bahwa semua orang pasti punya hp. Kau tidak ingin kehilangan predikat orang gara-gara kau tak punya hp. Sebelum memiliki hp, kau selalu menghindar ketika orang bertanya kepadamu tentang nomor hp. Maka kau kumpullah uangmu dan kau beli hp. Pertama kali menyentuh hp milik sendiri, tanganmu gemetar. Seharian penuh kau mengirim sms dan menelepon setiap temanmu, sekedar menanyakan kabar dan berbasa-basi. Kau sadar, beberapa orang yang kau hubungi akan merasa heran, karena kerap kau menanyakan sesuatu yang sangat tidak wajar, tapi tetap harus kau lakukan itu: hari itu kau menyatakan eksistensimu sebagai manusia.
◙◙◙
Ide yang paling menarik, hp itu kau harus buang ke laut. Di laut, hp itu tidak akan berdering. Kalaupun berdering, tidak akan ada suara yang bisa didengar orang: suara hp itu akan habis diserap air. Kalaupun terdengar, suaranya akan hilang tenggelam ditelan suara ombak. Orang pasti mengira itu hanya suara ombak atau suara angin yang menyentuh ujung-ujung nyiur dan layar perahu nelayan. Kalaupun terdengar, paling hanya didengar oleh nelayan dan anak-anak pantai. Mereka tentu tidak akan ambil pusing dengan suara deringan hp.
Tapi kalau suaranya tetap terdengar jelas sampai ke darat? Wah, repot. Lama-kelamaan suara hp akan menjadi satu musik yang mengundang perhatian. Orang-orang akan gempar dan mencari sumber deringan. Boleh jadi suara itu mengusik orang-orang pantai dan mengusik pula polisi untuk melakukan penyelidikan, maka kau akan menjadi sasaran interogasi. TIDAK.
Lalu kau sampai pada titik kulminasi: kau akan membanting hp itu sebanting-bantingnya hingga hancur berkeping. Kau akan menumpahkan semua rasa kesalmu pada hp itu. Setelah kau banting, hp itu akan kau ludahi dengan ludah yang sangat ludah seludah-ludahnya. Kalau hp itu masih berdering, kau akan menumbuk pecahannya sampai menjadi bubuk yang tidak bisa terpecah lagi. Tapi dimana kau akan melakukan rencana dahsyat itu? Kau tentu tidak akan melakukannya sekarang di kamarmu. Kamarmu akan berantakan karena kemarahanmu. Kau harus berpikir seribu kali untuk menumpahkan amarah di kamar sendiri. Perabotan kamar bisa ikut pecah dan berantakan bersama pecahnya hp yang akan kau luluh-lantakkan. Kau memang terganggu dan marah dan ingin menumpahkan kemarahanmu, tapi bukan di tempatmu sekarang ini. Lalu dimana? Menumpahkan segala kekesalan di pinggir jalan atau di tempat umum lainnya sangat tidak layak dan akan melukai sisi etika kemanusiaanmu. Orang-orang akan berbisik memperhatikan tindakanmu yang membanting-banting hp dengan raut wajah marah. Untuk memambah kepuasan dalam menumpahkan amarah, tentu saja kau perlu mengumpat, dan mengumpat-umpat di tengah orang yang mulai mengerubungimu akan menambah catatan gila pada dirimu. Oh, gila. Tidak ada orang yang mau disebut gila. Semua orang ingin hidup wajar. Kegilaan adalah aib bagi mereka yang hidup normal. Bukankah begitu?
Hpmu terus berdering mengiringi kerja otakmu yang kian buntu: membawa pesan pendek yang tidak kau mengerti: “Telah kutitipkan diriku di asap yang sebentar kemudian mengudara.” Ke tempat sunyi juga bukan jalan keluar yang jitu. Kesunyian seringkali mengganggu konsentrasi untuk sampai kepada puncak kemarahan. Sunyi selalu identik dengan perasaan sedih atau bahagia. Oleh karenanya, mereka yang ingin membuat puisi atau ingin menumpahkan kebahagiaan atau kesedihannya biasanya mencari tempat yang sunyi. Sedangkan orang yang sedang marah juga mencari tempat sunyi, tapi bukan untuk menumpahkan amarahnya, melainkan untuk menghibur diri dan melakukan refleksi agar marahnya reda. Belum lagi tempat sunyi sudah sangat susah mendapatkannya. Hampir semua kulit bumi telah terjamah oleh kebisingan. Hutan-hutan yang masih tersisa sangat jauh tempatnya. Dan kau tidak punya persiapan biaya untuk melakukan perjalanan jauh. Lalu kenapa pula kau harus mengeluarkan ongkos yang banyak hanya untuk menyingkirkan dan menumpahkan amarah kepada sebuah hp yang selalu berdering membawa sebuah pesan pendek yang tidak kau mengerti?
Menumpahkan amarah secara maksimal kepada sebuah hp yang terus berdering ternyata bukan pekerjaan yang mudah. Barangkali kau harus segera mengakhiri petualangan kebimbangan ini dan segera mengambil sebuah keputusan. Keputusan yang kira-kira bisa kau lakukan adalah membakar hp yang terus mengusikmu itu. Kau tidak perlu jauh-jauh mencari lokasi tempat pembakaran, cukup di halaman atau di belakang rumah. Satu hal yang agaknya perlu kau perhatikan adalah amarahmu. Tujuan utamamu bukan amarah, melainkan melenyapkan hp. Kau tidak perlu mengumpat dan mengundang orang untuk menertawakanmu sebagai orang gila. Setelah kau bakar, kalaupun tetap berdering, setidaknya hp itu tidak akan kembali lagi padamu. Dia akan menjadi abu untuk selama-lamanya. Dan jangan berpikir panjang lagi untuk melaksanakan niatmu itu, sebab pikiran-pikiran lain mudah datang dan merubah rencanamu. Kau sudah kenyang pengalaman tentang itu.
Tanpa perlu mempersiapkan macam-macam, kau ke dapur meraih korek dan minyak tanah seadanya. Kau memilih halaman depan sebagai tempat eksekusi bagi hpmu yang tetap berdering membawa pesan pendek yang tidak kau mengerti. Melewati ruang tengah, hpmu terus berdering. Deringanannya semakin nakal. Kesabaran yang coba kau pendam masih saja diuji oleh deringan hp yang tak henti-henti. Deringannya mengiang-ngiang dalam kepalamu membuat darahmu panas dan meriakkannnya serupa magma yang siap tuang ke kaki gunung merapi. Bibirmu bergetar menahan amarah. Minyak tanah di tanganmu tak kuasa bertahan di atas udara dan ia lepas tumpah ke lantai. Sampai di sinilah batas kuasa benteng pertahananmu. Dan kau banting hp yang terus berdering itu ke lantai. Dalam perjalanan bantingan ke lantai, hp itu tetap berdering membawa pesan pendek yang tidak kau mengerti. Seper-sekian detik sebelum menyentuh lantai, kau nyalakan api serupa bara di dadamu.
Hp itu terpental pecah berhamburan dengan hanya sekali bantingan. Kembali hp yang kini jadi potongan-potongan itu melayang bersangga udara semesta ruangan, dan jatuh bersamaan dengan api yang mulai merambati lantai dan dinding kayu. Hpmu tenggelam dalam koran api yang melalap seisi rumahmu. Di antara kobaran api dan derit kayu yang gosong, sayup terdengar suara deringan hp membawa pesan pendek yang tidak kau mengerti: “Telah kutitipkan diriku di asap yang sebentar kemudian mengudara.”
◙◙◙
Api telah padam, dan kau menemukan arang, abu, dan bau sisa kebakaran. Tiba-tiba kau dengar sebuah deringan yang akrab di telingamu, sebuah deringan yang membawa pesan pendek yang tidak kau mengerti. Awalnya, deringan itu hanya satu. Kemudian muncul deringan kedua, ketiga, sampai akhirnya deringan-deringan hp yang tak terhitung memenuhi pendengaranmu. Deringan-deringan itu bersahutan tak beraturan. Hp yang telah menjadi abu masih berdering, dan kini dalam jumlah yang banyak. Kau mendekati suara-suara itu, kau kumpulkan, kau pisahkan dari abu-abu yang lain. Abu hpmu kau genggam. Kau acungkan ke udara.
Dan kau dengar hp yang telah menjadi abu itu berdering membawa sebuah pesan pendek dengan nomor 0815 sekian sekian yang tidak kau mengerti, dan takkan pernah kau mengerti. Angin berhembus dari selatan membawa abu hp beterbangan ke udara dan tetap berdering untuk kesekian juta kali membawa sebuah pesan pendek. Kau terpekur lesu tak berkata apa-apa melepas hpmu yang terbang menyebar ke langit. Sementara suara hp berdering membawa sebuah pesan pendek tetap terdengar di telinga dan rongga otakmu. Suaranya semakin besar. Dan pendengaranmu kini dipenuhi suara hp yang berdering. Suaranya menggema memantul-mantul di diding dalam tubuhmu, untuk kemudian keluar melalui setiap rongga dan pori-porimu. Kau berdering membawa sebuah pesan pendek: “Telah kutitipkan diriku di asap yang sebentar kemudian mengudara,” dengan nomor pengirim 0815 sekian sekian.
Ciputat, 6 Agustus 2003

No comments: