Pages

Sunday, February 19, 2012

Argumen Islam untuk Kebebasan

Picasso: Drawing
Sebelumnya Dimuat di Koran Tempo, 15 April 2011

Debat yang muncul seputar keberadaan sekte Islam Ahmadiyah memasuki babak baru menyusul perlakukan kekerasan yang mereka alami. Kampanye anti-Ahmadiyah yang begitu massif semakin menyudutkan kelompok yang memang marjinal ini. Betapapun kuat argumen bahwa Ahmadiyah hanyalah sekte di dalam Islam, tapi kenyataan bahwa banyak orang yang berpikiran lain tidak bisa diabaikan. Persoalannya, anggapan bahwa Ahmadiyah berada di luar Islam inilah yang dijadikan dalih bagi sekelompok orang untuk terus-menerus menganggu, meneror, bahkan membunuh anggota Ahmadiyah.

Dalam konteks hukum positif, Konstitusi, hak azasi manusia, dan akal sehat jelas tidak pernah bisa dibenarkan seorang warga melakukan kekerasan kepada orang lain apalagi dengan hanya alasan agama. Persoalannya, para pelaku kekerasan merasa tidak perlu menggunakan hukum positif, Konstitusi, HAM dan akal sehat dalam aksi brutalnya. Mereka menganggap legitimasi agama jauh lebih kuat dan mengatasi argumen apapun.

Pertanyaan yang mesti terus-menerus diajukan adalah apakah para pelaku kekerasan ini benar-benar memiliki argumen agama, dalam hal ini Islam? Mari kita ambil “murtad/ridda” sebagai bentuk pembangkan terbesar dalam beragama. Murtad (apostasy) jauh lebih serius daripada sesat atau menyimpang (heresy). Sesat atau menyimpang adalah kondisi di mana seseorang menolak satu atau beberapa doktrin tertentu dalam agama. Sementara murtad menolak keseluruhan doktrin atau tidak lagi menjadikan seluruh doktrin dalam sikap dan perilaku beragama.


Tidak ada satupun ayat dalam al-Qur’an yang mengisyaratkan hukuman bagi pelaku murtad. Yang ditekankan oleh al-Qur’an justru adalah prinsip-prinsip kebebasan beragama. Ayat la ikraha fi al-din secara jelas menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama. Ayat ini mengisyaratkan kebebasan dalam beberapa jenjang. Pertama, tidak ada paksaan bagi orang yang akan memeluk agama tertentu maupun meninggalkan agama tersebut. Di masa-masa awal pembentukan Islam, kasus “keluar-masuk” Islam begitu banyak. Ini fenomena umum bagi setiap agama baru. Kalau belum apa-apa mereka yang memutuskan untuk keluar setelah ia menyatakan diri masuk Islam dihukum, maka bisa dibayangkan bahwa agama ini tidak akan memeroleh banyak pengikut. Yang terjadi adalah bahwa dalam waktu singkat Islam tersebar luas karena didasari prinsip kebebasan beragama.

Kedua, ayat “tidak ada paksaan dalam beragama” juga mengisyaratkan kebebasan berkelompok. Jika pada level agama saja al-Qur’an sudah memberi jaminan kebebasan, maka apalagi pada level yang lebih kecil, yakni kelompok-kelompok dalam satu agama. Tidak ada paksaan dalam beragama juga berarti tidak ada paksaan untuk menganut mazhab tertentu atau meninggalkannya.

Ketiga, ayat kebebasan beragama juga menunjukkan bahwa Islam menjamin kebebasan tafsir. Sekali lagi, jika pada level agama saja kebebasan dijamin, apalagi pada level tafsir. Debat mengenai Ahmadiyah adalah debat di seputar tafsir doktrin agama. Di dalam Islam dikenal doktrin mengenai akan datangnya Isa al-Masih dan Imam Mahdi di akhir zaman. Kebanyakan kelompok Islam masih menanti kedatangan juru selamat itu, tapi kelompok Ahmadiyah menyatakan mereka sudah datang dalam satu tubuh, yakni Mirza Ghulam Ahmad. Jika yang satu masih menunggu, yang lain sudah bertemu. Semua ini adalah debat tafsir. Al-Qur’an memberi jaminan tegas mengenai debat tafsir semacam ini. Jaminan kebebasan itulah yang menjadikan Islam begitu kaya dengan khazanah tafsir al-Qur’an. Proses penafsiran ini terus berlangsung hingga sekarang. Indonesia beruntung memiliki salah satu penafsir terkemuka, yakni Prof. Quraisy Shihab, yang telah menerbitkan berjilid-jilid buku tafsir yang ia beri judul “Al-Mishbah.”

Ketiadaan doktrin hukuman bagi pelaku murtad pada Al-Qur’an secara konsisten dikonfirmasi oleh hadits. Memang ada sejumlah hadits yang mendukung pemberian hukuman bagi pelaku murtad, tapi menurut Dr. Mohammad Omar Farooq, semua hadits itu lemah dan memiliki banyak masalah dalam hal validitas. Dan tidak ada satupun hadits yang membolehkan hukuman bagi pelaku murtad semata-mata karena murtad. Dalam Shahih al-Bukhari (buku hadits yang paling otoritatif) justru dikemukakan kisah tentang seorang muallaf Badui yang datang kepada Nabi dan meminta Nabi membatalkan syahadatnya. Tiga kali ia datang kepada Nabi dengan permintaan yang sama, tiga kali pula Nabi mengabaikannya. Sampai orang itu kemudian meninggalkan Madinah, Nabi tetap tidak melakukan apa-apa dan tidak pernah ada berita bahwa Nabi mengeluarkan ancaman hukuman bagi orang yang mengaku murtad itu.

Tentu saja ada pengalaman di mana penguasa Islam menyerang kelompok murtad, misalnya yang dilakukan oleh Abu Bakar al-Shiddiq kepada kelompok Musailamah. Musailama dikabarkan mengaku sebagai Nabi. Peristiwa inilah dan sebuah hadits lemah “man baddala dinahu faqtuluh” (bunuhlah orang yang mengganti agamanya) yang oleh kalangan Islam radikal digunakan sebagai dasar bagi penyerangan terhadap mereka yang dianggap murtad, termasuk Ahmadiyah. Secara gegabah mereka bahkan mengklaim bahwa menghukum orang murtad adalah hasil ijma’ atau kesepakatan mayoritas ulama.

Menurut Mohammad Omar Farooq, sejak zaman klasik Islam sampai sekarang tidak pernah ada kesepakatan ulama untuk menghukum pelaku murtad. Tafsiran yang berkembang secara luas di kalangan ulama terkemuka mengenai peristiwa penyerangan terhadap kelompok Musailamah bukan didasarkan semata-mata karena Musailamah murtad atau mendaku sebagai Nabi, tapi karena dia mencoba melakukan pembangkangan politik. Para ulama justru memandang bahwa murtad pada dirinya sendiri tidak bisa dihukum, ia menjadi bermasalah ketika perilaku murtad diikuti oleh tindakan makar.

Omar Farooq menceritakan sebuah kisah pada masa Umar bin Abdul Azis. Ada sejumlah orang yang menyatakan diri keluar dari Islam. Peristiwa ini kemudian dilaporkan oleh Maimun bin Mahram (seorang gubernur) kepada Umar. Umar memerintahkan untuk membebaskan mereka dan menuntut mereka membayar pajak sebagaimana warga negara pada umumnya.

Sufyan ats-tsauri (amirul mukminin fi al-hadits/raja para ahli hadits) dan Ibrahim Al-Nakha’i (tabi’in) sepakat melarang penghalalan darah orang murtad. Bagi mereka, pintu tobat selalu terbuka. Ketimbang menghalalkan darah, lebih baik mengajak mereka. Sementara Syamsuddin al-Sarakhsi (ahli hukum Islam terkemuka dari mazhab Hanafi) menyatakan bahwa betul murtad atau ingkar iman adalah pelanggaran yang sangat serius, tapi itu urusan antara seorang manusia dengan Tuhan, dan hukumannya ditunda sampai hari pembalasan (akhirat). Syeikh Mahmud Syaltut (mantan Imam Besar al-Azhar) memiliki pandangan senada: ingkar iman adalah dosa. Dalam Quran, hukuman bagi pendosa, menurut Syaltut, hanya di akhirat. Syeikh Gamal al-Banna (adik Hasan al-Banna) secara lebih tegas menyatakan: “tidak ada hukuman bagi pelaku murtad atau ingkar iman. Kebebasan berpikir adalah tulang punggung Islam.”

Baik secara nalar biasa, Konstitusi, hukum, HAM, doktrin utama agama Islam, maupun kesepakatan ulama secara tegas dan lugas mendukung kebebasan beragama, kebebasan berpindah agama, kebebasan bergabung dengan kelompok-kelompok dalam satu agama, dan kebebasan menafsir agama. Iman adalah urusan manusia dengan Tuhan. Jika demikian, kita patut bertanya, atas dasar apa sebenarnya para pelaku kekerasan itu melakukan aksinya? Atas dasar apa jemaat Ahmadiyah dikejar-kejar, diteror, dan dibunuh? Akal sehat dan agama jelas tidak berada pada pihak pembunuh dan teroris. []

2 comments:

Anonymous said...

mentang mentang rasullah bilang umatnya akan menjadi beberapa golongan
semua seenak udelnya pecah ngikutin hawa nafsunya bikin aliran,,, pada pinter keblinger nih orang

Anonymous said...

orang ini bukan pinter tapi lemah, gampang terpengaruh pemikiran pemikiran "barat" yang mereka dewa dewakan, mereka orang orang lemah. semoga mereka dapat menyadari kekhilafan berpikir mereka