Pages

Thursday, February 23, 2012

Tuhan dalam Teror Bom


www.detik.com

“Tindakan seperti itu adalah tindakan yang sangat biadab yang hanya dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertuhan dan tidak berperikemanusiaan. Terorisme dan tindak kekerasan tidak dibenarkan oleh agama manapun.“Pernyataan ini dikemukakan oleh Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin dalam acara konferensi pers mengecam peledakan bom Solo di Gereja Bethel Injil Sepenuh, Solo, pada 25 September 2011.

Pernyataan ini sangat bermasalah karena secara langsung Din Syamsuddin telah menuduh suatu kelompok, yaitu kalangan yang tidak bertuhan, sebagai pelaku teror bom tersebut. Pernyataan ini menjadi jauh lebih bermasalah karena Din tidak hanya belum menemukan fakta pelaku bom, tapi juga karena kesimpulan bahwa pelaku teror itu adalah kalangan yang tidak bertuhan tampaknya jauh dari kenyataan.


Wacana tentang penolakan terhadap eksistensi Tuhan biasanya disematkan kepada kelompok ateis. Sebenarnya, dalam khazanah agama, wacana mengenai penegasian terhadap Tuhan bukanlah dominasi kelompok ateis, tapi juga kelompok agama sendiri. Jika pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan menjadi definisi bagi ateisme, sebenarnya sejumlah penganut agama bisa masuk kategori itu. Ia bisa muncul dalam semua agama. Ketika menghitung populasi penganut ateisme di dunia, Samuel P. Huntington, misalnya, memasukkan penganut agama-agama yang tidak memiliki konsep tentang Tuhan dalam kategori ini, misalnya Konfusianisme dan Buddhisme.

Populasi

Pada 2005, Eurostat Eurobarometer merilis satu hasil survei yang menyatakan hanya 52 persen orang Eropa yang percaya bahwa Tuhan benar ada. Selebihnya benar benar tidak percaya adanya Tuhan atau sekadar percaya kepada kekuatan hidup. Di Amerika Serikat, menurut survei BBC pada 2004, ada 9 persen warga yang tidak percaya Tuhan. Sementara itu, survei Gallup pada 2008 menunjukkan angka 6 persen. Adapun di Asia, populasi kelompok ateis, dalam pengertian yang luas, muncul dari Republik Rakyat Cina, yakni 59 persen. Menurut sebuah survei yang dipublikasikan Encyclopedia Britannica pada 1995, populasi orang yang mengaku tidak beragama di seluruh dunia mencapai 14,7 persen, sementara yang mengaku ateis sebesar 3,8 persen.

Orang-orang yang tidak percaya kepada Tuhan di Indonesia mungkin sedikit kesulitan mengekspresikan keyakinannya karena Pancasila sebagai dasar negara membatasi ekspresi itu. Sila pertama dasar negara adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Namun bukan berarti bahwa semua orang Indonesia lantas percaya kepada Tuhan, apalagi mempercayai hanya satu Tuhan. Di dunia maya saat ini banyak muncul situs kelompok ateis yang berbahasa Indonesia. Dua forum di jejaring sosial Facebook juga tampak ramai, yakni Indonesian Atheist, yang memiliki 600 anggota, dan Indonesian Freethinker, yang memiliki 575 anggota. Beberapa orang yang tidak meyakini adanya Tuhan mengaku tidak bebas bergerak di dunia nyata. Coba baca pengakuan mereka di situs ini http://bit.ly/pymxT2.

Tentu saja semua angka ini bisa diperdebatkan. Sebab, memang akan sangat sulit mencari angka yang pasti jumlah populasi orang-orang yang disebut sebagai tak bertuhan ini. Mereka bisa muncul dalam bentuk ateisme, tidak beragama, non-teisme, anti-teis, maupun spiritualitas tanpa Tuhan dan agama. Semakin longgar definisi kita tentang siapa yang dimaksud dengan kelompok masyarakat tak bertuhan, maka akan semakin besar populasi mereka. Kelompok inilah yang dituding oleh Din Syamsuddin sebagai pelaku teror bom di Solo.

Tidak Faktual

Menyatakan bahwa pelaku teror bom di Solo adalah orang yang tak bertuhan juga sangat sulit dibuktikan. Nyatanya, para pelaku teror bom di Indonesia sejauh ini, mulai bom Borobudur, bom gereja, bom kafe, bom kedutaan, bom pasar, bom buku, bom masjid, sampai bom gereja di Solo, justru mendasarkan aksi-aksinya pada doktrin-doktrin agama. Kenyataan bahwa para pelaku peledakan bom bunuh diri mengorbankan tubuh dan nyawanya sendiri menjadi bukti bahwa motivasi mereka lebih dari sekadar motivasi duniawi dan materi.

Tidak sedikit tokoh agama yang menyatakan bahwa motif utama yang mendorong para teroris beraksi adalah ekonomi. Namun bagaimana mungkin orang mengorbankan diri untuk kepentingan ekonomi? Yang terjadi justru para pelaku teror bom bunuh diri tega meninggalkan keluarga untuk mati sendiri. Alih-alih memperbaiki ekonomi keluarga, mereka malah memperburuk ekonomi keluarga dengan meninggalkannya.

Motivasi ideologi seperti agama mungkin jauh lebih kuat. Janji tentang surga di hari kemudian sangat efek tif mengajak para kader te roris untuk mengorbankan diri. Mereka merasa tidak mati sia-sia. Mereka mati untuk masuk ke kehidupan selanjutnya yang abadi dan lebih menyenangkan. Hanya agama yang bisa memberi janji semacam itu.

Akan halnya orang-orang yang tak bertuhan, janji apakah yang bisa diberikan kepada para pelaku teror bom bunuh diri? Salah satu konsekuensi dari ketakber tuhanan adalah tiadanya konsep tentang kehidupan setelah mati sebagaimana diyakini oleh orang-orang beriman. Kalaupun ada keabadian, maka keabadian itu berlangsung dalam kehidupan dunia ini. Keabadian itu muncul dalam bentuk evolusi, di mana segala sesuatu bergerak dan berubah.

Orang-orang yang tak bertuhan adalah orang-orang yang paling gigih mempertahankan hidup. Orang-orang inilah yang sekarang menjadi para saintis, yang terusmenerus mencari solusi untuk hidup abadi. Mereka adalah para pencinta kehidupan. Sebaliknya, para pelaku teror bom bunuh diri justru adalah para pendamba kematian. Menurut mereka, kematian akan mengantar mereka pada kehidupan abadi.
Agama bukan satu-satunya sumber moral. Tentu kita tidak akan melupakan betapa banyak tragedi kemanusiaan yang dimotivasi oleh semangat agama: perang, konflik, genosida, pengusiran, terorisme, kekerasan, dan seterusnya. Para penganut agama semestinya tidak menafikan kritik terhadapnya. Lucretius, misalnya, menolak dengan tegas bahwa agama adalah sumber moral.

Baginya, agama justru merupakan musuh utama moralitas.“Kejahatan tertinggi yang pernah diperbuat oleh manusia adalah agama,“Lucretius menegaskan.

Lalu dari mana moralitas berasal? Sejumlah filsuf, seperti Immanuel Kant, berkesimpulan bahwa moralitas berasal dari kesadaran rasional manusia. Prinsip hukum juga berdasar pada ketentuan itu. Hukum hanya berlaku bagi orang dewasa dan memiliki akal yang waras.

Bom dan perilaku kejahatan bisa muncul dari siapa saja. Itu adalah tragedi kemanusiaan. Mencari argumen agama untuk mengutuk kekerasan tentu sangat berlimpah. Namun melimpahkan semua perkara kejahatan kepada kelompok tak beriman atau tak bertuhan adalah keteledoran. Kita berharap bahwa pernyataan Din Syamsuddin mengenai pelaku bom Solo tersebut bukanlah dimaksudkan sebagai pernyataan kebencian terhadap suatu kelompok masyarakat. Teror bom dan kekerasan pada mulanya berasal dari pernyataan-pernyataan kebencian.

No comments: