Dimuat di Koran Tempo, 10 Maret 2011
Pasca-pembunuhan terhadap tiga warga Ahmadiyah di Cikeusik, Banten,
muncul gejala yang sangat memprihatinkan. Memang Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono merespons cepat dengan memberi perintah agar mencari jalan
legal untuk membubarkan organisasi yang sering membuat kekisruhan. Yang
menarik, beberapa daerah justru merespons perintah Presiden itu dengan
mengeluarkan peraturan pembekuan kegiatan Jemaat Ahmadiyah. Pemerintah
daerah Pandeglang mengeluarkan larangan bagi anggota Ahmadiyah
melakukan kegiatannya. Pemda Jawa Timur mengeluarkan perintah yang
melarang semua kegiatan Ahmadiyah di Jawa Timur. Di Banjarmasin,
pemerintah bahkan melarang penggunaan masjid Ahmadiyah. Adapun di Jawa
Barat, gubernur mengeluarkan perintah pembekuan kegiatan Ahmadiyah.
Memang perintah Presiden yang dikeluarkan dalam perayaan Hari Pers
Nasional di Kupang itu tidak langsung menyebutkan organisasi yang hendak
dicarikan jalan pembubarannya. Sehingga perintah ini dengan cepat
dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok anti-Ahmadiyah untuk mengarahkan
perintah pembubaran justru kepada Ahmadiyah, bukan kepada pelaku
kekerasan. Menteri Hukum dan Has Asasi Manusia Patrialis Akbar malah
lebih banyak membahas LSM-LSM ketimbang organisasi-organisasi
kemasyarakatan pelaku kekerasan. Demikian pula Menteri Agama Suryadharma
Ali, dia justru lebih banyak membahas bagaimana mencari solusi bagi
Ahmadiyah ketimbang mencari jalan bagi pembubaran Ormas pelaku
kekerasan.
Pelarangan Ahmadiyah di sejumlah daerah menjadi sangat berbahaya
justru karena baru saja Ahmadiyah mengalami penganiayaan di luar batas
kemanusiaan. Buah dari penganiayaan bukan mengkriminalkan pelaku,
melainkan malah lebih menyudutkan korban.
*
Sebenarnya model penyelesaian masalah dengan melipatgandakan beban
korban bukan baru pertama terjadi. Hal seperti ini juga terjadi pada
peristiwa berdarah 1 Juni 2008. Saat itu massa Aliansi Kebangsaan untuk
Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) diserang oleh massa Laskar
Pembela Islam (LPI) milik Front Pembela Islam (FPI). Buah dari
kekerasan yang dialami oleh AKKBB justru adalah dikeluarkannya Surat
Keputusan Bersama (SKB) Dua Menteri dan Jaksa Agung tentang pelarangan
aktivitas Ahmadiyah.
Viktimisasi korban adalah cara penyelesaian masalah yang sungguh
tidak beradab. Peraturan daerah dan SKB Dua Menteri yang melarang
aktivitas Ahmadiyah membawa pesan yang sangat kuat bahwa, jika Anda
menginginkan suatu kelompok dilarang, lakukanlah kekerasan terhadapnya.
Para pengusul kebijakan pelarangan Ahmadiyah berpegang pada pendapat
bahwa kekerasan terjadi karena suatu sebab. Mereka menganggap bahwa
penyebab kekerasan adalah korban kekerasan itu sendiri. Dengan demikian,
yang pertama-tama harus dipersalahkan adalah korban. Bagaimana mungkin
menyalahkan korban pencurian dan penjarahan? Bukankah semua pencuri
dan perampok seharusnya ditangkap dan bukan malah sibuk menyalahkan
korban?
Dalam hal Ahmadiyah, logika bahwa kelompok ini mengundang kekerasan
hanya karena mereka memiliki keyakinan yang berbeda dengan kebanyakan
orang sungguh tidak bisa diterima. Kalau Ahmadiyah mengundang kekerasan
karena mereka berbeda, seharusnya Ahmadiyah juga memiliki legitimasi
yang sama untuk menyerang siapa saja yang berbeda dengan mereka. Kalau
Ahmadiyah boleh dilarang karena mengundang kekerasan atas keberbedaan
mereka, kenapa pemerintah tidak melarang juga kegiatan orang-orang yang
berbeda dengan Ahmadiyah? Bukankah mereka juga mengundang kekerasan
dari Ahmadiyah atas keberbedaan mereka dengan Ahmadiyah? Kalau dengan
alasan perbedaan keyakinan agama pemerintah bisa melarang aktivitas
suatu kelompok, maka bukankah sebaiknya pemerintah melarang semua
kegiatan agama, karena mereka semua saling berbeda dan saling
mengancam?
Mengatakan bahwa keyakinan agama mayoritas terancam oleh minoritas
Ahmadiyah sangatlah tidak masuk akal. Bukankah yang seharusnya terancam
adalah minoritas? Dengan segala sumber daya, mayoritas jauh lebih punya
kekuatan untuk mengancam kelompok minoritas ketimbang sebaliknya.
Kalau pelarangan didasarkan pada logika ancaman terhadap agama, maka
seharusnya pemerintah melarang aktivitas kelompok mayoritas, karena
merekalah yang paling mungkin memberi ancaman terhadap kelompok-kelompok
yang lebih kecil.
Dalam hal keyakinan agama, pemerintah sama sekali tidak punya hak
untuk menyatakan suatu kelompok lebih benar daripada yang lain. Iman
atau keyakinan adalah sesuatu yang sangat subyektif. Kebenaran iman
adalah kebenaran subyektif. Ia benar sejauh ia diyakini benar. Bagi
mereka yang meyakininya, iman akan menjadi kebenaran absolut. Tapi bagi
orang-orang lain yang tidak yakin, ia tidak bermakna apa-apa.
Melarang kegiatan Ahmadiyah karena Ahmadiyah memiliki keyakinan yang
berbeda juga sangat problematis. Ada lompatan pemikiran dalam larangan
tersebut. Masalah, kalaupun itu benar, pada Ahmadiyah adalah keyakinan,
bukan pada aktivitas. Aktivitas seperti salat, berdoa, berdakwah,
bakti sosial, rapat, mengaji, pendidikan, dan lain-lain pada dirinya
tidak mengandung masalah. Hampir semua warga di Indonesia melakukan
kegiatan semacam itu. Kenapa kegiatan-kegiatan itu menjadi terlarang
hanya karena yang melakukannya adalah orang yang memiliki keyakinan
yang bukan arus utama? Kalau boleh-tidaknya sebuah kegiatan didasarkan
pada keyakinan pelaku, mestinya mencuri, membunuh, dan tindak kejahatan
lain boleh, asalkan dilakukan oleh mereka yang memiliki keyakinan yang
dianut mayoritas warga.
Kalau dasarnya keyakinan, mestinya yang dilarang pada Ahmadiyah
adalah keyakinan. Tapi bagaimana melarang keyakinan yang bersemayam di
lubuk hati? Rasa-rasanya negara belum memiliki penjara spiritual untuk
menahan hati yang sesat.
*
Dalam konteks dakwah, melarang aktivitas Ahmadiyah adalah bentuk
ketidakadilan. Semua jenis penafsiran dan keyakinan agama semestinya
berkontestasi secara sehat untuk meraih dukungan. Membatasi ruang gerak
sebuah kelompok yang memiliki corak pemahaman keagamaan tertentu sama
dengan menghalangi seorang peserta lomba lari dalam sebuah perlombaan.
Bagaimana menentukan bahwa peserta yang mencapai garis finish lebih awal
adalah pelari tercepat, sementara ada satu peserta yang dilarang
berlari? Jika kita percaya bahwa iman yang paling benar akan bertahan,
maka apa gunanya melarang iman yang dianggap salah?
Negara tidak punya kepentingan untuk menjaga iman tertentu, betapapun
dominannya. Kalau sekelompok orang merasa imannya terdesak oleh iman
orang lain, jangan timpakan beban kesalahan kepada negara. Tanyakan
kepada diri sendiri.
1 comment:
wah cara menulisnya bagus tetapi tidak di dasari pemahaman al quran dan hadis benar. hmm atau anda bukan muslim?
Post a Comment