Pages

Friday, February 3, 2012

Ketika Abu Bakar Ba'asyir Melakukan Pemurtadan

Pernyataan Abu Bakar Ba’asyir bahwa orang Islam yang tidak setuju dengan Perda Syariat adalah murtad sangat menyakitkan dan melukai proses demokratisasi yang sedang terbangun di Indonesia. Pernyataan itu dikemukakan Ba’asyir dalam ceramah bertajuk “Indahnya Syariat Islam” pada acara Milad VIII Partai Bulan Bintang (PBB) di Jakarta (3 Juli 2006). Ba’asyir menyatakan dukungan sepenuhnya bagi penerapan Perda Syariat di sejumlah daerah di Indonesia. Ba’asyir menyatakan, “jika yang menolak Perda Syariat itu orang kafir, itu wajar. Namun jika yang menolak itu orang Islam, itu keterlaluan. Kalau orang Islam yang tidak setuju, itu murtad.”
Pernyataan Abu Bakar Ba’asyir, yang memiliki seribuan pengikut terorganisir, ini sangat berbahaya, karena bisa menjadi instrumen bagi pelanggaran hak asasi manusia kepada kalangan yang menolak Perda Syariat. Sebagai pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia dan Ponpes Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir adalah ulama yang cukup disegani oleh pengikutnya. Sangat mungkin pernyataan Ba’asyir akan digunakan oleh para pengikutnya, yang terkenal fanatik dan tekstualis dalam beragama, untuk melecehkan dan menyerang orang-orang yang dianggap murtad.
Sudah banyak kasus, bagaimana orang Islam yang dianggap murtad menjadi tidak tenang hidupnya karena dibayang-bayangi kematian. Ada sejumlah kalangan di dalam Islam yang menganggap bahwa orang murtad halal darahnya. Ulil Abshar-Abdalla pernah divonis halal darahnya oleh Forum Ulama Umat Islam (FUUI) Bandung karena dinilai murtad hanya karena menafsirkan doktrin agama secara baru. Akibatnya, Ulil harus selalu waspada setiap saat. Salah seorang yang mengaku patuh terhadap ulama bahkan beberapa kali menguntit Ulil untuk dibunuh. Ulil adalah contoh populer di Indonesia bagaimana vonis murtad itu sungguh berbahaya.
Salman Rusydy adalah contoh lain di mana ia harus selalu was-was di sepanjang hidupnya karena difatwa mati oleh Khomaini hanya karena karya sastranya yang kritis. Pemikir Islam terkemuka, Mahmod Mohammad Toha, terbunuh karena dianggap murtad oleh pemerintah Islam Sudan di bawah pimpinan Hasan Turabi. Mahmod Mohammad Toha dianggap murtad hanya karena ia mencoba melakukan terobosan untuk menjadikan al-Qur’an kompatibel dengan perkembangan zaman. Ahli hukum Islam, Abdullahi Ahmed An-Naim, terusir dari Sudan dengan kasus yang sama. Fazlur Rahman melarikan diri dari Pakistan karena dianggap murtad setelah ia menawarkan cara penafsiran al-Qur’an yang sesuai dengan zaman. Fazlur Rahman berkeyakinan, bahwa al-Qur’an masih relevan dengan perkembangan zaman, hanya jika al-Qur’an ditafsirkan secara substantif. Fazlur Rahman adalah guru para pemikir besar Islam Indonesia, seperti Alm. Nurcholish Madjid, Syafi’I Ma’arif, dan Amien Rais. Pemikir-pemikir Islam besar seperti Nasr Hami Abu Zaid, Najib Mahfudz, Hassan Hanafi, dan Nawal el-Sa’adawi juga mengalami nasib pemurtadan yang serupa.
Selain bisa mengancam nyawa, pernyataan Ba’asyir di atas secara langsung adalah bentuk pemurtadan baru di Indonesia. Jutaan masyarakat Muslim Indonesia tiba-tiba menjadi murtad dalam pernyataan Ba’asyir. Ratusan Ormas dan LSM telah menyatakan penolakan terhadap Perda Syariat dan RUU Syariat. Kendatipun NU dan Muhammadiyah cenderung mendukung Perda dan RUU Syariat, tapi organisasi-organisasi di bawahnya serta banyak tokoh utamanya justru menolak Perda dan RUU itu. Tokoh NU seperti KH Abdurrahman Wahid dan Masdar Farid Mas’udi juga tokoh Muhammadiyah seperti Syafi’I Ma’arif dan M Dawam Rahardjo menyatakan dengan tegas penolakannya terhadap Perda-perda dan RUU Syariat Islam. Ada 52 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga menyatakan penolakan terhadap Perda Syariat. Partai-partai besar seperti PDIP, PDS, sebagian besar PKB, dan sebagian Partai Golkar juga menyatakan ketidaksetujuan dengan Perda Syariat. Tokoh politik terkemuka seperti Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Akbar Tanjung juga menyatakan penolakan terhadap Perda Syariat. Lalu kita bisa menghitung berapa banyak kaum Muslim yang berada di belakang para tokoh, anggota Ormas, anggota dan simpatisan partai, dan pemilih anggota DPR penolak Perda Syariah.
Jika Ba’asyir tetap menyatakan bahwa para penolak Perda Syariat adalah murtad, maka ada sekian juta ummat Islam tiba-tiba menjadi murtad oleh pernyataan itu. Lalu kita bertanya, masihkah relevan jika dikatakan bahwa ummat Islam Indonesia 80% lebih? Bukankah lebih valid jika dikatakan bahwa sebetulnya ummat Islam Indonesia hanya sekitar 30 atau 20% saja? Jika ini dianggap sebagai masalah, maka yang pertama-tama harus disalahkan adalah ulama semacam Abu Bakar Ba’asyir yang telah melakukan pemurtadan terhadap sekian juta masyarakat Muslim Indonesia. Sulit untuk dipahami bagaimana ulama yang disegani seperti Abu Bakar Ba’asyir bisa melakukan pemurtadan.
Alih-alih membawa ummat Islam menjadi ummatan wahidah (ummat yang bersatu) yang ya’lu wa yu’la alaih (berperadaban tinggi dan tidak ada satu peradaban yang mengatasinya), Ba’asyir malah semakin menenggelamkan ummat Islam ke dalam ketertutupan dan kemerosotan tajam. Pemurtadan yang dilakukan oleh Ba’asyir telah membawa ummat Islam menjadi ummat kecil, tertutup, dan sempit. Islam, oleh Ba’asyir, menjadi agama yang dianut oleh hanya segelintir orang. Kasus pemurtadan yang dilakukan oleh Ba’asyir juga menyimpan arogansi yang sangat besar. Ba’asyir menempatkan diri sebagai wakil Tuhan atau juru bicara Tuhan di bumi. Ba’asyir melupakan bahwa beliau bukanlah satu-satunya ulama atau orang yang mengerti Islam. Terlalu banyak pemikir dan ulama yang serius mengkaji agama besar Islam tapi tidak sejalan dengan pemikiran Ba’asyir. Bahkan kita bisa ragu, apakah sosok seperti Ustadz Ba’asyir ini bisa dijadikan representasi ummat dan pemikiran Islam? Seperti Ba’asyirkah contoh khairah ummah (ummat terbaik) yang diinginkan oleh Rasul, sosok yang gampang memurtadkan orang, yang gampang menyebar kebencian, dan menutup diri terhadap perubahan?
Contoh paling ideal dalam Islam tentu saja bukan Ba’asyir, melainkan Nabi Muhammad. Nabi Muhammad adalah sosok yang penuh kasih sayang, penyantun, dan pemersatu. Dan yang paling penting, Nabi Muhammad adalah sosok pembaharu pada masanya. Nabi Muhammad tidak pernah tenang dengan kekolotan berpikir ummatnya, maka ia melakukan inovasi dan pembaharuan besar-besaran, meskipun dengan itu ia harus dicerca. Pembaharuan seperti inilah yang ditentang keras oleh Ba’asyir dan kelompoknya. Di zaman Nabi, penentang pembaharuan Muhammad adalah Abu Jahal dan Abu Lahab. Kita tentu tidak ingin Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menjadi Abu Jahal dan Abu Lahab di zaman modern.

No comments: