Girl in Tub, Jenny Saville |
Banyak Ormas yang malah menginginkan matinya demokrasi dan diganti dengan pandangan hidup dan sistem politik yang lain. Ormas seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) jelas tidak menginginkan demokrasi. Di hampir setiap kampanye, aksi, dan pertemuan umum, mereka selalu menyuarakan pergantian sistem, dari demokrasi ke syariat Islam. HTI bahkan tidak hanya ingin mengganti demokrasi, tapi juga ingin menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk diganti dengan pemerintahan khilafah. Apakah demokrasi akan membiarkan kekuatan masyarakat yang ingin membunuh demokrasi itu sendiri, seperti yang dilakukan FPI, MMI, dan HTI?
Demokrasi muncul sebagai satu sistem pemerintahan yang ideal untuk mengatasi persoalan yang ditimbulkan tirani minoritas di luar sistem demokrasi. Feodalisme, sistem kerajaan, komunisme, fasisme, atau teokrasi (pemerintahan agama, khilafah, syariat Islam, atau wilayatul faqih) adalah sistem pemerintahan di mana kedaulatan berada di tangan segelintir orang atas nama rakyat, Tuhan, faksi, atau paksaan kekuatan pemilik modal. Demokrasi muncul sebagai sistem pemerintahan yang memberikan pengakuan terhadap kedaulatan setiap individu tanpa memandang latarbelakang ekonomi, sosial, atau agama apapun.
Tidak bisa disangkal bahwa demokrasi memang menyisakan pelbagai persoalan, salah satu yang utama adalah bahaya mayoritarianisme. Salah kaprah mayoritarianisme dalam demokrasi muncul oleh sistem pelibatan publik dalam pengambilan keputusan publik. Dalam demokrasi, kuantitas memperoleh tempat yang sangat istimewa. Penentuan pemimpin publik, misalnya, semata-mata hanya berdasar kepada kuantitas publik yang memilih pemimpin tertentu dalam satu pemilihan umum. Kualitas calon pemimpin tentu sedikit banyak mempengaruhi pilihan, tapi itu bukan faktor penentu. Sejak awal, para penggagas demokrasi Amerika Serikat, seperti James Madison, mengkhawatirkan bahaya mayoritarianisme dalam demokrasi. Alih-alih menghindar dari tirani minoritas dengan memberikan hak suara kepada publik, tirani mayoritas lebih mengancam.
Kanselir terkenal Jerman, Otto Von Bismark, menjelaskan kenapa diperlukan perluasan suara di Jerman. Baginya, perluasan hak suara diperlukan untuk meredam kekritisan middle class. Sementara perluasan suara kepada massa akan melanggengkan kekuasaan monarkhi konservatif. Tidak ada niat baik di sana. Nasionalisme otoritarian rasis yang muncul pada akhir Republik Weimar, menurut Jack Snyder, disebabkan oleh demokrasi kehidupan publik. Pada paruh pertama abad 20, terjadi perluasan hak suara di banyak negara. Tapi pada saat yang sama, kebebasan ditindas di mana-mana. Baru pada paruh kedua, otoritarianisme populis tersebut dihancurkan.
Pertanyaan yang terus menghantui adalah betulkah demokrasi tidak memberikan solusi akan bahaya mayoritarianisme oleh dirinya sendiri? Jika tidak, barangkali benar usulan Jack Snyder, Fareed Zakaria, atau Lee Kwan Yeu yang menyatakan bahwa wilayah di mana demokrasi hanya akan memunculkan tirani mayoritas, maka yang dibutuhkan bukan demokrasi, melainkan otokrat atau diktator yang baik hati. Lalu Indonesia akan kembali kepada masa Soeharto dengan tindakan represifnya untuk menjaga semua golongan, termasuk golongan minoritas. Tidak.
Persoalan mayoritarianisme tidak harus diatasi dengan keluar dari sistem demokrasi. Demikian pula, demokrasi tidak harus mengabaikan mayoritarianisme. Mayoritarianisme bisa dijinakkan dengan tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam demokrasi. Bahkan sebetulnya klaim mayoritas tidak bisa dilepaskan dari sistem kebebasan dalam demokrasi itu sendiri. Satu keputusan tidak bisa diklaim milik mayoritas jika sebelumnya kebebasan tidak diandaikan. Kebebasan adalah syarat bagi mayoritarianisme. Masyarakat harus bebas menentukan aspirasinya sebelum klaim mayoritas itu ada.
Ormas-ormas Islam yang anarkhis tidak bisa dikatakan mayoritas ketika saban hari mereka melakukan pemaksaan kehendak dan menyebar teror. Keterlibatan masyarakat dalam pengambilan kebijakan di ruang publik dalam keadaan tertekan tidak bisa disebut demokratis. Demokrasi mensyaratkan satu situasi di mana semua individu dan golongan berada dalam keadaan bebas (tanpa tekanan dan paksaan) untuk menyuarakan aspirasinya.
Setidaknya ada dua bentuk tekanan yang disebar oleh kelompok anarkhis dan pendukung penggantian demokrasi. Pertama, tekanan secara langsung dalam bentuk penyerbuan, ancaman penghalalan darah (pembunuhan), pengrusakan, dan penahanan bagi individu dan kelompok-kelompok tertentu yang dianggap berbeda. Data dari survei PPIM (Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat) UIN Jakarta tahun 2006 mengenai tindak kekerasan yang dilakukan dengan motif agama sangat mencengangkan. 0,1 % atau sekitar 250 ribu orang Indonesia pernah melakukan aksi pembakaran dan pengrusakan gereja; 0,6 % atau sekitar 1.500.000 orang Indonesia mengaku pernah melakukan pengusiran terhadap Jamaah Ahmadiyah. Sebanyak 1,3 % responden atau setara dengan sekitar 3.250.000 warga Indonesia ikut mengancam orang yang dipandang menghina agama; 1,0 % responden atau setara dengan 750 ribu masyarakat Indonesia yang pernah menyerang dan merusak tempat pelacuran.
Tekanan seperti ini tidak hanya mematikan potensi individu dan kelompok yang diserang, tapi juga berdampak pada psikologi masyarakat secara umum. Keinginan untuk berbeda pendapat, dalam kondisi ini, tidak mendapat tempat yang cukup layak. Akhirnya, masyarakat terpaksa jatuh pada pendapat dan aspirasi yang monolitik. Survei PPIM juga menunjukkan betapa besar ancaman dari kelompok anarkhis kepada demokrasi. Ada 14,7% responden atau sekitar 36.750.000 orang yang menyatakan bersedia merusak dan membakar gereja yang didirikan tanpa izin; 28,7% atau sekitar 71.750.000 orang yang bersedia mengusir orang Ahmadiyah; dan 40,7% 101.750.000 orang yang bersedia mengancam orang yang dianggap menghina agama. Bahkan ada sekitar 47,0% responden atau setara dengan 117.500.000 orang yang menyatakan bahwa Ahmadiyah tidak boleh hidup di Indonesia. Yang lebih parah, 53,1% responden atau sekitar 132.750.000 orang menyatakan bahwa orang yang menafsir al-Qur’an secara bebas harus dipenjara.
Kedua, tekanan idiologis yang dilakukan orang-orang yang mengaku dan dianggap pemuka agama. Digunakannya masjid-masjid dan dikeluarkannya berbagai dalil teologis untuk mendukung kepentingan politik sekelompok orang menjadikan aspirasi mereka seolah-olah diterima oleh mayoritas pemeluk Islam. Kekuatan politik Islam secara tidak langsung menebarkan teror melalui mimbar-mimbar masjid dan fatwa-fatwa ulama. Layaknya masyarakat agamis yang awam, fatwa ulama dan retorika teologis menjadi senjata paling ampuh untuk meraih suara mereka. Kasus seperti RUU Porno dan Perda-perda Syariat Islam adalah bukti kongkrit di mana persoalan politik itu dibawa masuk ke ranah teologi oleh kekuatan politik pendukungnya. Dengan dalih Islam, tanpa kalkulasi politik yang sehat, masyarakat Islam terpaksa mengamininya. Untuk tidak disebut kafir, masyarakat harus patuh. Abu Bakar Ba’asyir, untuk menyebut satu contoh, menyatakan dengan tegas kepada publik bahwa asas masyarakat Muslim Indonesia bukan Pancasila, melainkan Syariat Islam. Pernyataan itu benar, tapi ia adalah teror dalam kontrak sosial masyarakat Islam yang plural. Secara tidak langsung, Ba’asyir mengatakan bahwa mereka yang mengikuti Pancasila bukan masyarakat Muslim. Sekali lagi, itu adalah retorika teror yang telah menjadi bahasa sehari-hari kaum anti-demokrasi.
Dengan demikian, kita sulit menerima klaim mayoritas dari para pengusung pembubabaran negara demokratis. Klaim mayoritas dalam demokrasi sulit diterima ketika ancaman dan teror ada di mana-mana. Demokrasi tidak memberikan ruang bagi mereka yang ingin menghancurkan demokrasi secara demokratis. Demokrasi hanya bisa ditumbangkan dengan cara yang tidak demokratis. Para pengusung anti-demokrasi bisa meraih dukungan terbanyak hanya karena mereka menebar teror dan ancaman, baik ancaman langsung berupa penyerbuan dan teror, maupun ancaman sanksi teologis berupa surga dan neraka. Dan itu tidak demokratis.
No comments:
Post a Comment