Penulis: Burhanuddin Muhtadi
Penerbit: Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG), 2012
Tebal: xxviii + 307
halaman
Musyawarah Kerja Nasional (Mukernas) PKS di Medan, 26-30 Maret 2012
mengusung tema “Bekerja dalam Kebhinekaan untuk Kejayaan Bangsa.” Tema
kebhinekaan ini tidak mengejutkan. Pada 2008, PKS malah menyelenggarakan
Mukernas di Bali dengan menampilkan logo hitam kuning mereka bersinar dari
balik pura. Pada Pemilu 2004, partai ini menanggalkan slogan Islamisme dan
menggantinya dengan “bersih dan peduli.” Terjadi pergeseran orientasi?
Olivier Roy, Asef Bayat, dan beberapa
pengamat lain menyebut gejala ini sebagai pasca-Islamisme, di mana demokrasi mulai
diterima. Gejala itu terjadi pada Partai Kebebasan dan Keadilan di
Mesir, Partai an-Nahdla di Tunisia
dan PJD (Parti de la Justice et du
Développement) di Maroko. Juga terjadi pada AKP (Adalet ve Kalkınma Partisi)
di Turki.
Mereka yang berkukuh pada pandangan bahwa Islamisme dan demokrasi adalah
dua entitas berbeda yang tidak bisa disatukan akan menyatakan bahwa penerimaan
gerakan Islamis terhadap demokrasi tidak lain hanyalah kamuflase. Demokrasi
bagi kelompok Islamis hanyalah instrumen untuk mencapai cita-cita tertinggi,
yakni pendirian negara Islam.
Tetapi sebetulnya persis pada argumen instrumentalisme itulah terletak
potensi demokratis dari kelompok Islamis. Demikianlah yang terjadi pada Partai
Keadilan Sejahtera. Partai yang bertumbuh dari gerakan Islamis ini
bermetamorfosis menjadi partai politik dan sepenuhnya terlibat dalam proses
demokratisasi pasca-otoritarianisme Orde Baru. Mereka menjadi bagian dari
demokrasi Indonesia tanpa harus menanggalkan sepenuhnya agenda-agenda politik
Islam. Al-harakah hiya al-hizb, wa
al-hizb huwa al-harakah, kenapa tidak?
Buku “Dilema PKS: Suara dan Syariah”
karya Burhanuddin Muhtadi memotret dengan sangat baik dan detil dinamika
gerakan PKS sejak masa embrionya. Buku yang ditulis superstar ilmuan politik
Indonesia ini menggunakan pendekatan teori gerakan sosial.
Melalui teori struktur kesempatan politik (political opportunity structure) perubahan yang terjadi pada
gerakan Tarbiyah menjadi partai politik dijelaskan berdasarkan perubahan sosial
politik. Dalam hal ini, Burhanuddin menggunakan teori gerak dua arah struktur
kesempatan politik, yakni faktor internasional dan domestik (h. 95). Pada level
internasional, kelahiran gerakan Tarbiyah pertama-tama didorong oleh kemenangan
revolusi Iran 1979. Dorongan faktor internasional kedua muncul dari kebijakan
luar negeri Arab Saudi yang menjadi begitu royal memberi bantuan finansial bagi
gerakan Islamis seluruh dunia. Di Indonesia, berkah finansial petro-dollar
Saudi ditadah oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang kemudian
mempercepat proses gerakan Tarbiyah di kampus-kampus sekuler.
Pada level domestik, perubahan sistem politik sejak masa Orde Baru membawa
pengaruh pada gerakan Tarbiyah. Represi Orde Baru terhadap “Islam politik”
memaksa para aktivis Islam politik bergerak di bawah tanah. Mereka menjadikan
masjid-masjid kampus sebagai basis gerakan dakwah spritual. Perubahan sikap
Soeharto terhadap kelompok Islam sejak tahun 1980-an membuat gerakan ini mulai
bergerak lebih terorganisir dengan membentuk Lembaga Dakwah Kampus (LDK)
kemudian Forum Silaturrahmi Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK). Segera setelah
Soeharto melemah dan kehilangan daya repressifnya, gerakan ini tampil lebih
agressif dan politis dengan mendirikan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia
(KAMMI). Jatuhnya rezim Soeharto membuka lebar-lebar peluang bagi gerakan ini
untuk mengubah gerakan menjadi partai politik.
Demokrasi mengajari para aktivis gerakan Tarbiyah untuk
menjadi lebih pragmatis dan mengikuti logika elektoral. Kini, pada PKS, hampir
tidak ada lagi ideologi Islam yang tersisa, selain hanya sebagai slogan yang
diteriakkan pada demonstrasi-demonstrasi massal yang masih gemar mereka
lakukan. Pada level kebijakan publik, mereka sepenuhnya adalah partai politik
demokratis.[]
Tulisan ini dimuat di Media Indonesia, 22 April 2012, halaman 22.
No comments:
Post a Comment