http://bit.ly/xOttpT |
Banyak
orang mengajukan pertanyaan yang tak mudah untuk dijawab: “apa yang
sebetulnya terjadi?” Terorisme yang awalnya muncul di Barat dan
merupakan produk peradaban Barat telah menyerang peradaban agung Barat
itu sendiri. Banyak analis Barat tampak kebingungan menghadapi fenomena
ini. Istilah “teror” untuk pertama kalinya dipakai dalam pengertian
politik modern menunjuk pada peristiwa yang dijuluki Teror Revolusi
Prancis tahun 1793. Hampir semua negara di Barat mengalami peristiwa dan
rezim terorisme. Pertanyaan yang muncul adalah apa itu terorisme dan
atas maksud apa ia muncul?
David Fromkin ( Forreign Affairs, 1975)
mendefinisikan terorisme sebagai sebuah bentuk kekerasan yang digunakan
untuk menciptakan ketakutan. Ketakutan yang diciptakan tidak untuk
tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan untuk menggiring orang lain
melakukan tindakan yang agak berbeda yang sebetulnya diinginkan oleh
teroris. Dalam kasus tragedi 11 September, tujuan teroris tampaknya
bukanlah pembunuhan besar-besaran itu sendiri, melainkan memancing AS
untuk melakukan serangkaian tindakan, yang, oleh para teroris, dinilai
akan memenuhi sebuah harapan, harapan tentang bersatunya kekuatan dunia
untuk melawan AS dan seterusnya. Para teroris memancing pemerintah AS
dan sekutunya melakukan tindakan kontra terorisme yang akan ditentang
oleh komunitas internasional. Demonstrasi besar-besaran di seluruh
penjuru dunia untuk menentang perang ke Afganistan, Irak, Palestina, dan
Libanon, juga rencana perang melawan Iran, Suriah, dan Korea Utara
mungkin adalah salah satu keberhasilan teroris melakukan provokasi.
Represi Internasional
Tapi di atas
segalanya, tragedy 11 September untuk sementara berhasil merubah
orientasi kebijakan publik pemerintah Amerika Serikat. Represi
internasional yang dilakukan pemerintahan Bush benar-benar menguat
menyusul terjadinya tragedi 11 September. Gengsi AS sebagai polisi
internasional benar-benar terusik oleh tragedi 11 September. Dalam
setiap pidato, Presiden Bush selalu mengobarkan semangat perang terhadap
terorisme, yang kerapkali direduksi ke dalam bentuk perang
menghancurkan Taliban, menurunkan Saddam Husein, menggagalkan kemenangan
HAMMAS di Palestina, melenyapkan Hizbullah, mengancam pemerintahan Iran
dan Korut karena program pengayaan uranium nuklir, dan tetap mendukung
semua kebijakan politik dan keamanan internasional Israel. Dengan
dalih kontra terorisme, Presiden Bush dan sekutunya melancarkan
serangan dan menyebar ancaman yang membabi buta ke setiap negara yang
“diduga” sebagai pendukung terorisme. Entah atas dasar apa, terorisme
telah dihadapi senjata dan penciptaan ketakutan bagi komunitas
internasional. Tapi kemudian semua orang tahu, AS dan sekutunya tidak
pernah bisa memberantas terorisme dengan meneror.
Bom-bom bunuh diri
bahkan semakin trend di kalangan teroris, kendati puluhan ribu korban
jiwa telah berjatuhan di kalangan masyarakat sipil dunia. Bukan
hanya menambah subur terorisme, represi internasional AS juga
mengundang reaksi berbagai komunitas internasional untuk melawan.
Perlawanan yang dilakukan komunitas internasional itu adalah dengan
memenangkan kandidat-kandidat Presiden yang kontra dengan AS. Berbagai
rezim komunis tiba-tiba muncul di Amerika Selatan. Rezim-rezim Islam
garis keras juga muncul sebagai kontestan terkuat di Pemilu-pemilu
paling demokratis di Timur Tengah. HAMMAS telah memenangkan Pemilu
Palestina. Hizbullah menjadi kekuatan politik favorit di Libanon.
Kekuatan-kekuatan Ikhwanul Muslimin juga muncul di Mesir. Partai-partai
Islam garis keras bermunculan di Irak, Pakistan, Malaysia, dan juga
Indonesia.
Anti-AS di Indonesia
Represi
Internasional AS juga sangat terasa dampaknya dalam kehidupan publik di
Indonesia. Dengan dalih melawan AS, kekuatan-kekuatan Islam dan “kiri”
muncul bak jamur di musim hujan. AS tidak hanya dipahami sebagai negara
yang telah melakukan serangan terhadap Irak dan Afganistan, tapi juga
dipahami sebagai representasi kebejatan moral dan biang kemiskinan
global. Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), jika boleh merepresentasikan kekuatan Islam
Anti-AS, semakin solid dengan meraih 7 % suara pada Pemilu 2004, yang
awalnya hanya memiliki 1,3 % suara pada Pemilu 1999. Kekuatan-kekuatan
“Islam” juga muncul di parlemen dan memberikan dukungan terhadap
peraturan dan undang-undang yang bernuansa syariah.
Maraknya Perda
Syariah menjadi semacam acuan, bahwa kekuatan politik Islam memang
semakin solid. Jika kekuatan Islam ini terus menuntut penerapan agenda
syariat Islam yang theosentris, maka ini adalah alamat buruk bagi
kelangsungan demokratisasi di Indonesia. Demokrasi,
oleh banyak kekuatan politik Islam, adalah alat idiologi Barat,
terutama AS, untuk tetap menjaga kepentingannya di negara-negara
berkembang. Hanya demokrasilah yang memungkinkan pihak luar negeri
melakukan intervensi terhadap kebijakan dalam negeri. Demokrasi
memberikan peluang kepada kekuatan-kekuatan masyarakat sipil dalam
mempengaruhi kebijakan publik. Para pemilik modal internasional sangat
bisa “membeli” kekuatan-kekuatan sipil, bahkan kekuatan-kekuatan yang
tersebar dalam bentuk partai-partai politik. Munculnya
berbagai Perda dan rancangan undang-undang “moral” yang berpotensi
membelenggu kebebasan demokratis tidak hanya mengancam demokratisasi di
Indonesia, tapi juga diandaikan sebagai bentuk perlawanan terhadap AS.
Idilogi kebebasan yang coba disebarkan, dianggap sebagai bentuk
propaganda AS. Kontra terorisme represip yang dilancarkan AS tidak hanya
menjadi senjata yang berpotensi menyerang balik kekuatan-kekuatan AS di
seluruh dunia, tapi juga menjadi senjata pemusnah kebebasan di semua
negara demokratis. Setelah
5 tahun, nampaknya AS harus mengevaluasi perang melawan terorisme yang
mereka lancarkan. Sebab sangat nyata, cara-cara represif yang membabi
buta, malah menjadi lahan subur bagi munculnya bibit-bibit terorisme
baru. AS harus mampu melihat aspek lain dari munculnya terorisme, yakni
ekonomi.
Eksploitasi
ekonomi yang berlebihan, yang menyebabkan Dunia Ketiga jatuh ke dalam
kemiskinan akut, adalah salah satu faktor munculnya sikap perlawanan.
Orang seperti Usamah bin Laden memang bukan orang miskin, tapi
solidaritas sebagai kaum tertindas bisa begitu kuat, ketika menyaksikan
kaum papa di sekelilingnya. Kemiskinan Dunia Ketiga juga terbukti
menjadi amunisi paling ampuh dari para pengkritik AS dan penentang
demokrasi. Kampanye dan perang melawan kemiskinan, mungkin lebih baik
dan lebih simpatik daripada menyebar teror dengan senjata.
1 comment:
Kita menghendaki kebangkitan yang benar dan berdiri di atas pencampakan semua akidah, pemikiran atau sistem yang tidak terpancar dari Islam. Kita pun menghendaki kebangkitan yang tegak di atas pelepasan segala hal yang menyalahi Islam sejak dari akarnya. Semua itu tidak akan pernah tercapai, kecuali dengan melanjutkan kehidupan Islam dan mengubah negeri dari dar al-kufr menjadi Dar al-Islam.
Post a Comment