Pernyataan Abu Bakar
Ba’asyir bahwa orang Islam yang tidak setuju dengan Perda Syariat adalah
murtad sangat menyakitkan dan melukai proses demokratisasi yang sedang
terbangun di Indonesia. Pernyataan itu dikemukakan Ba’asyir dalam
ceramah bertajuk “Indahnya Syariat Islam” pada acara Milad VIII Partai
Bulan Bintang (PBB) di Jakarta (3 Juli 2006). Ba’asyir menyatakan
dukungan sepenuhnya bagi penerapan Perda Syariat di sejumlah
daerah di Indonesia. Ba’asyir menyatakan, “jika yang menolak Perda
Syariat itu orang kafir, itu wajar. Namun jika yang menolak itu orang
Islam, itu keterlaluan. Kalau orang Islam yang tidak setuju, itu
murtad.”
Pernyataan Abu
Bakar Ba’asyir, yang memiliki seribuan pengikut terorganisir, ini sangat
berbahaya, karena bisa menjadi instrumen bagi pelanggaran hak asasi
manusia kepada kalangan yang menolak Perda Syariat. Sebagai pemimpin
Majelis Mujahidin Indonesia dan Ponpes Ngruki, Abu Bakar Ba’asyir adalah
ulama yang cukup disegani oleh pengikutnya. Sangat mungkin pernyataan
Ba’asyir akan digunakan oleh para pengikutnya, yang terkenal fanatik dan
tekstualis dalam beragama, untuk melecehkan dan menyerang orang-orang
yang dianggap murtad.
Sudah banyak
kasus, bagaimana orang Islam yang dianggap murtad menjadi tidak tenang
hidupnya karena dibayang-bayangi kematian. Ada sejumlah kalangan di
dalam Islam yang menganggap bahwa orang murtad halal darahnya. Ulil
Abshar-Abdalla pernah divonis halal darahnya oleh Forum Ulama Umat Islam
(FUUI) Bandung karena dinilai murtad hanya karena menafsirkan doktrin
agama secara baru. Akibatnya, Ulil harus selalu waspada setiap saat.
Salah seorang yang mengaku patuh terhadap ulama bahkan beberapa kali
menguntit Ulil untuk dibunuh. Ulil adalah contoh populer di Indonesia bagaimana vonis murtad itu sungguh berbahaya.
Salman Rusydy
adalah contoh lain di mana ia harus selalu was-was di sepanjang hidupnya
karena difatwa mati oleh Khomaini hanya karena karya sastranya yang
kritis. Pemikir Islam terkemuka, Mahmod Mohammad Toha, terbunuh karena
dianggap murtad oleh pemerintah Islam Sudan di bawah pimpinan Hasan
Turabi. Mahmod Mohammad Toha dianggap murtad hanya karena ia mencoba
melakukan terobosan untuk menjadikan al-Qur’an kompatibel dengan
perkembangan zaman. Ahli hukum Islam, Abdullahi Ahmed An-Naim, terusir
dari Sudan dengan kasus yang sama. Fazlur Rahman melarikan diri dari
Pakistan karena dianggap murtad setelah ia menawarkan cara penafsiran
al-Qur’an yang sesuai dengan zaman. Fazlur Rahman berkeyakinan, bahwa
al-Qur’an masih relevan dengan perkembangan zaman, hanya jika al-Qur’an
ditafsirkan secara substantif. Fazlur Rahman adalah guru para pemikir
besar Islam Indonesia, seperti Alm. Nurcholish Madjid, Syafi’I Ma’arif,
dan Amien Rais. Pemikir-pemikir Islam besar seperti Nasr Hami Abu Zaid,
Najib Mahfudz, Hassan Hanafi, dan Nawal el-Sa’adawi juga mengalami nasib
pemurtadan yang serupa.
Selain
bisa mengancam nyawa, pernyataan Ba’asyir di atas secara langsung
adalah bentuk pemurtadan baru di Indonesia. Jutaan masyarakat Muslim
Indonesia tiba-tiba menjadi murtad dalam pernyataan Ba’asyir. Ratusan
Ormas dan LSM telah menyatakan penolakan terhadap Perda Syariat dan RUU
Syariat. Kendatipun NU dan Muhammadiyah cenderung mendukung Perda dan
RUU Syariat, tapi organisasi-organisasi di bawahnya serta banyak tokoh
utamanya justru menolak Perda dan RUU itu. Tokoh NU seperti KH
Abdurrahman Wahid dan Masdar Farid Mas’udi juga tokoh Muhammadiyah
seperti Syafi’I Ma’arif dan M Dawam Rahardjo menyatakan dengan tegas
penolakannya terhadap Perda-perda dan RUU Syariat Islam. Ada 52 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga menyatakan penolakan terhadap Perda
Syariat. Partai-partai besar seperti PDIP, PDS, sebagian besar PKB, dan
sebagian Partai Golkar juga menyatakan ketidaksetujuan dengan Perda
Syariat. Tokoh politik terkemuka seperti Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputri dan Akbar Tanjung juga menyatakan penolakan terhadap Perda
Syariat. Lalu kita bisa menghitung berapa banyak kaum Muslim yang
berada di belakang para tokoh, anggota Ormas, anggota dan simpatisan
partai, dan pemilih anggota DPR penolak Perda Syariah.
Jika
Ba’asyir tetap menyatakan bahwa para penolak Perda Syariat adalah
murtad, maka ada sekian juta ummat Islam tiba-tiba menjadi murtad oleh
pernyataan itu. Lalu kita bertanya, masihkah relevan jika dikatakan
bahwa ummat Islam Indonesia 80% lebih? Bukankah lebih valid jika
dikatakan bahwa sebetulnya ummat Islam Indonesia hanya sekitar 30 atau
20% saja? Jika ini dianggap sebagai masalah, maka yang pertama-tama
harus disalahkan adalah ulama semacam Abu Bakar Ba’asyir yang telah
melakukan pemurtadan terhadap sekian juta masyarakat Muslim Indonesia. Sulit untuk dipahami bagaimana ulama yang disegani seperti Abu Bakar Ba’asyir bisa melakukan pemurtadan.
Alih-alih membawa ummat Islam menjadi ummatan wahidah (ummat yang bersatu) yang ya’lu wa yu’la alaih
(berperadaban tinggi dan tidak ada satu peradaban yang mengatasinya),
Ba’asyir malah semakin menenggelamkan ummat Islam ke dalam ketertutupan
dan kemerosotan tajam. Pemurtadan yang dilakukan oleh Ba’asyir telah
membawa ummat Islam menjadi ummat kecil, tertutup, dan sempit. Islam,
oleh Ba’asyir, menjadi agama yang dianut oleh hanya segelintir orang. Kasus
pemurtadan yang dilakukan oleh Ba’asyir juga menyimpan arogansi yang
sangat besar. Ba’asyir menempatkan diri sebagai wakil Tuhan atau juru
bicara Tuhan di bumi. Ba’asyir melupakan bahwa beliau bukanlah
satu-satunya ulama atau orang yang mengerti Islam. Terlalu banyak
pemikir dan ulama yang serius mengkaji agama besar Islam tapi tidak
sejalan dengan pemikiran Ba’asyir. Bahkan kita bisa ragu, apakah sosok
seperti Ustadz Ba’asyir ini bisa dijadikan representasi ummat dan
pemikiran Islam? Seperti Ba’asyirkah contoh khairah ummah (ummat
terbaik) yang diinginkan oleh Rasul, sosok yang gampang memurtadkan
orang, yang gampang menyebar kebencian, dan menutup diri terhadap
perubahan?
Contoh
paling ideal dalam Islam tentu saja bukan Ba’asyir, melainkan Nabi
Muhammad. Nabi Muhammad adalah sosok yang penuh kasih sayang, penyantun,
dan pemersatu. Dan yang paling penting, Nabi Muhammad adalah sosok
pembaharu pada masanya. Nabi Muhammad tidak pernah tenang dengan
kekolotan berpikir ummatnya, maka ia melakukan inovasi dan pembaharuan
besar-besaran, meskipun dengan itu ia harus dicerca. Pembaharuan seperti
inilah yang ditentang keras oleh Ba’asyir dan kelompoknya. Di zaman
Nabi, penentang pembaharuan Muhammad adalah Abu Jahal dan Abu Lahab.
Kita tentu tidak ingin Ustadz Abu Bakar Ba’asyir menjadi Abu Jahal dan
Abu Lahab di zaman modern.